SENI BELUKTetap Eksis di Beberapa Daerah di Sumedang

29 Jan 2002 - 11:03 pm

Beluk merupakan sarana hiburan masyarakat pedesaan. Biasanya kesenian ini untuk menghibur anak yang baru di khitan, yang baru melahirkan serta pada pesta pernikahan. Hiburan ini biasanya dilaksanakan mulai pukul 20.00 sampai tengah malam.

Jenis kesenian tradisional ini boleh dibilang sudah langka terutama untuk generasi muda yang pada jaman sekarang ini banyak disuguhi berbagai jenis kesenian moderen baik itu datang dari luar negeri maupun dari dalam negeri sendiri seperti jazz, rock, jaipongan, chacha, dangdut dan sebagainya. Akhirnya Seni Beluk ini terlupakan dan mungkin banyak yang tidak tahu, apa Seni Beluk itu.

Keberadaan Seni Beluk sebenarnya sudah ada sejak dahulu, yaitu sejak masa penjajahan Belanda. Beluk pada hakekatnya merupakan kesenian tembang buhun (kuno) yang lebih mengutamakan tinggi rendahnya suara. Syair yang dilantunkan adalah jenis Wawacan (Carita Babad) yang dibawakan seperti kita jumpai dalam berbagai pupuh mulai dari pembukaan sampai pada penutupan seperti: Pupuh Kinanti, Asmaradana, Pucung, Dangdanggula, Balabak, Magatru, Mijil, Ladrang, dan sebagainya.

Jenis wawacan yang disampaikan juru beluk tergantung apa yang dikuasainya seperti Wawacan Ogin, Rengganis, Babar Nabi, Barjah, Amungsari, Jayalalana, Natasukma, Mahabarata, Mundinglaya, Lutung Kasarung, Ciung Wanara, dan sebagainya.

Beberapa tokoh Seni Beluk yang ada di beberapa kecamatan di Kabupaten Sumedang diantaranya di Kp. Narongtong Cikeruh (Bah Abtori, Tamim, Pandi dan Narya), Kp. Santaka Cimanggung (Bah ahoy, Wapi, H. Anang dan Dana) Kp. Jayasari (Bah Ahri dan Ade) Kp. Cimasuk Rancakalong (Bah Darmita, Lasmena, Rusmana dan Tarman) serta beberapa daerah kecamatan lainnya yang belum sempat dikunjungi, mereka menjelaskan bahwa para tokoh Seni Beluk banyak yang sudah tidak ada (meninggal) seperti dari Kp. Santaka tokoh beluk wanita Atikah dan Sukiah. Disamping jarang bahkan tidak adanya kader penerus dan kurang atau tidak adanya pembinaan dari dinas instansi terkait khususnya Dinas Budaya dan Pariwisata, kemudian generasi sekarang kurang menguasai atau jarang mengenal pupuh dan yang paling utama adalah kemauan untuk mempelajari Beluk tersebut.

Seni Beluk memang berbeda dengan seni lainnya, tembang Beluk tanpa diiringi musik (waditra) karena seni beluk hanyalah mengutamakan kemampuan suara juru ilo yang membacakan lebih dahulu dengan langgam pupuh untuk selanjutnya diserahkan kepada juru beluk itu.

Namun lain halnya dengan Lasmena dari Kp. Cimasuk Rancakalong, ia dalam menggelar beluknya untuk memikat dan menarik perhatian penonton khususnya kalangan generasi muda, memodernisasinya dengan waditra kacapi dengan anggapan bahwa seni beluk tidaklah kuno lagi tapi dapat pula diiringi musik yang sifatnya tradisional pula.



(Sumber: Buletin Seni Budaya edisi Oktober 2000. Oleh Dayus)