- TATA BUSANA DODOT SUNDA & DODOT POLENG RELIGIUSOleh: Drs. H.R. Hidayat Suryalaga
11 Mar 2002 - 3:51 am
Tata busana Mojang Sunda sudah terkenal sampai ke mancanegara. Keindahan, keluwesan, mode serta asesoriesnya selalu menjadi acuan tata busana wanita Nasional. Demikian pula tata busana Pengantinnya, dari waktu ke waktu selalu mengalami perkembangan yang pesat, sehingga Bandung sering disebut sebagai pusat mode bagi Nusantara.
Tetapi tata busana untuk kaum Pria Sunda tidak sepesat perkembangan tata busana mojangnya. Padahal tidak sedikit kaum pria Urang Sunda yang pada waktu-waktu tertentu, seperti halnya dalam resepsi pernikahan, sangat berkeinginan untuk mempunyai tata busana pria yang khas Sunda. Pada beberapa kesempatan penulis telah mencoba memodifikasi tata busana Dodot Kasundaan, hasilnya antara lain berupa tata busan pria/dodot Jajaka yang digunakan sebagai tata busana wajib pada pemilihan Jajaka dan Mojang Parahiyangan/Jawa Barat (1993). Belum lama ini penulis telah memperkenalkan Tata Busana DODOT POLENG RELIGIUS, yang dipagelarkan dan diresmikan pada pagelaran Tata Busana Pengantin INTEN KADATON - Gaya Galuh - oleh Himpunan Ahli Rias Pengantin Indonesia Cabang Jawa Barat (HARPI MELATI) di Gedung Wanita, Bandung.
Pengertian DODOT, adalah tata cara pemakaian kain sebagai pelengkap berbusana pria yang menggunakan "celana panjang". Pada umumnya pemakaian "dodot" digunakan pula dalam bertatabusana pria Etnis Jawa dan Bali. Hanya saja pada tata busana Pria Etnis Sunda, terdapat cara yang agak berbeda, malah bernuansa khas Sunda. Setelah ditelusuri dengan memperhatikan foto-foto lama dari Kadaleman/Kabupaten Sukapura, Bandung, Sumedang, Cianjur, Purwakarta, Cirebon, Galuh, Bogor, demikian pula dengan menyimak dari tulisan-tulisan (wawacan, biografi, otobriografi, naskah lama) serta hasil perbincangan dengan para tokoh/sesepuh Urang Sunda, sapat disimpulkan ada beberapa jenis pemakaian DODOT Busana Sunda, yaitu:
DODOT SANTANA
Dodot ini dipakai oleh para "menak" bangsawan dari kalangan tertentu. Biasa digunakan oleh para pria yang berumur antara 25 - 60 taun. Digunakan dalam situasi formal yang aktif (banyak bergerak, mobile), seperti dalam upacara kenegaraan, pesta, bepergian baik menunggang kuda atau kereta. Kain yang digunakan adalah kain batik dengan bermacam motif (terutama, rereng, ceplok, kawung, dengan warna soga).
Dodot Santana ini dibuat dengan cara digunting, disisakan sebagian untuk dibuat lamban/wiron dengan ukuran sekitar 7 cm sebanyak 7 lipatan. Diikatkan di pinggang dengan arah "kanan ke kiri", diikat dengan stagen atau ikat pinggang khusus. Panjang dodot yang menjuntai disesuaikan dengan umur yang memakainya; jelasnya semakin tua umur yang berbusana, semakin panjang terjuntai dodotnya, tetapi tidak melebihi mata kaki. Hal ini mengandung filsafat semakin tua umur seseorang harus lebih "landung kandungan laer aisan" yang bermakna harus lebih hati-hati dalam melangkah dan bijaksana.
Selain dari itu akan menambah nilai estetis bila tengah berjalan. Bila sedang sibuk, berjalan cepat atau menaiki tangga, maka ujung dodot tadi dipegang dengan tangan kanan; "body gesture" nya akan terlihat maskulin dan indah. Seandainya harus "ngibing" (dahulu menjadi prasyarat bagi para "menak" untuk bisa "ngibing), maka ujung dodot tadi akan diselipkan ke pinggang di bagian depan atau di belakang (punggung). Demikian pula halnya bila akan menaiki kendaraan/kereta/kuda dan sekarang mobil/motor).
Bendo (udeng) yang digunakan, sebaiknya satu motif (sauwit) dengan kain dodotnya, setidak-tidaknya satu warna (soga). Secara formal baju Takwa/Jas Tutup harus dikancingkan; tetapi bila ingin bersantai, maka Takwa/Jas tutup bisa saja terbuka seluruh kancingnya; asal kemeja di dalam berwarna putih/atau polos dan stagen/ikat pinggang penutup dodot harus ditata dengan rapih Alas kaki boleh berselop, bertarumpah atau bersepatu (sebaiknya pantofel yang berhak). Menggunakan asesories "tali bandang" atau rantai arloji, kuku maung - jaman dulu biasa uang mas golden atau bintang kehormatan, sekarang bisa diganti dengan asesories lain yang sesuai dengan selera.
Dodot Santana ini pada masa sekarang pantas sekali digunakan oleh para Birokrat (Eksekutif) dalam kesempatan formal/dinas. Bila ingin digunakan dalam kesempatan PERNIKAHAN, busana Dodot Santana ini dapat pula dipakai oleh Mempelai Pria (dengan catatan: kain dodot dan bendo/udeng serta baju Takwa yang digunakannya sebaiknya telah memakai asesories/ornamen untuk membedakan dari Dodot Santana yang digunakan orang lain. Demikian pula Dodot Santana bisa pula digunakan oleh ayahanda mempelai (sebaiknya tidak menggunakan ornamen seperti mempelai pria).
DODOT PONGGAWA
Sering juga secara gurauan disebut dengan DODOT DUDUT. Karena cara memakainya memang ada bagian dodot yang didudut (ditarik sehingga berjuntai indah); biasa dipakai oleh para Eksekutif yang harus bergerak cepat, misalnya panitia pada suatu acara, Satria/Pagar Bagus. Kain yang digunakan sebaiknya yang bermotif rereng, barong, ceplok, lar/sayap; tidak menggunakan yang bermotif bunga atau motif lukisan. Warna bisa aneka warna disesuaikan dengan warna takwa dan celananya.
Penutup kepala harus menggunakan bendo/udeng dengan corak yang sama dengan dodotnya atau nuansa warna yang sama. Jumlah lipatan lamban/wiron yang nantinya akan ditarik/didudut menjadi dodot makin banyak jumlahnya makin bagus. Arah dodot berjuntai ke arah kanan. Ujung dodot sebaiknya berada agak sedikit di atas mata kaki (persis di tulang kering agak ke bawah). Ujung lipatan dodot pada bagian bokong, sebaiknya terletak pada pangkal paha kanan, jadi tidak "ngoyondon".
DODOT JAJAKA
Dodot ini dipopulerkan sebagai tata busana wajib pada pemilihan Jajaka & Mojang Parahiyangan Jawa Barat. Digunakan kain batik khas Jawa Barat (Garutan, Ciamisan, Tasikan, Cirebonan, Indramayuan, Bantenan, atau inovasi/modivikasi/kreasi yang bernuansakan Tatar Sunda). Motif dan warna bisa bebas serasi dengan warna baju takwa dan celana serta kemeja yang digunakan.
Bendo/Udeng harus satu motif (sauwit) dengan dodotnya. Bendo tidak menggunakan asesories lainnya seperti bross dan sebagainya. Pengerjaan/pembuatan lipatan dodotnya sistim bertumpuk yang dikerjakan dengan seksama. Untuk kerapihannya biasa menggunakan penjepit/clips. Harus diusahakan ujung dodot yang terjuntai terletak satu jengkal di bawah lutut. Arah kain yaitu dari kanan ke kiri. Asesories dapat menggunakan "tali bandang", rantay arloji atau sejenisnya dengan catatan, harus memperhatikan dengan benar letak "kuku maung, medali, uang logam" yang terjuntai itu harus terletak di bagian saku baju sebelah kanan.
Alas kaki sebaiknya berselop, bersepatu yang mempunyai hak (sebaiknya pantofel, jangan cats). Bila DODOT JAJAKA ini akan digunakan untuk Mempelai Pria, bisa saja, dengan menambah beberapa assesories, misalnya bros pada bendo/ udeng, baju takwa yang diberi "pasmen" atau bunga corsase. Untuk keperluan yang bersifat formal, jangan menggunakan kain yang polos (jadi harus batik/bermotif), sebab dodot yang polos hanya digunakan untuk keperluan pemain kesenian (penari, gulang-gulang, sandiwara dan sebagainya).
DODOT KEUPEUL
Ini digunakan dengan asal saja, untuk keperluan yang tergesa-gesa. Ujung kain hanya dilipat-lipat tersusun di depan. Biasanya digunakan untuk pelaku upacara kesenian misalnya oleh Aki Lengser atau kawan-kawannya. Berkesan tidak formal, tidak menggunakan bendo tetapi dengan IKET, biasa memakai tarumpah atau dilagar (telanjang kaki), tidak menggunakan selop.
DODOT KEBYAR
Digunakan hanya untuk penari laki-laki, seperti yang digunakan oleh penari Bali. Biasanya dililitkan dari arah kiri ke kanan, sehingga ujung dodot yang terjuntai terletak sebelah kiri. Jarang digunakan dalam kesempatan formal.
DODOT POLENG RELIGIUS
Penulis memodifikasikan ini untuk keperluan formal dengan nuansa religius/islami, semisal untuk keperluan mempelai pria ketika akan akad nikah di Mesjid. Bila untuk mempelai Pria; celana panjang warna gelap (sebaiknya hitam), baju takwa berwarna gelap (hitam). Yang harus digunakan adalah baju takwa bukan SIKEPAN/PRANG WEDANA/JAS BUKAAN.
Caranya membuat dodot poleng yaitu: Sarung poleng dibuka jahitannya sehingga menjadi selembar kain panjang.. Cara membuatnya sama seperti membuat DODOT SANTANA yaitu digunting. Bagian TUMPAL (yang biasa dipakai di bagian belakang), dijadikan untuk bahan LAMBAN/WIRON. Penutup kepala tidak menggunakan Bendo/Udeng atau Iket tetapi menggunakan Kopiah.
Sebaiknya kopiah Khas BANDUNG yang disebut Kopeah BADAWAL (Kopeah khas Bandung yang dianyam, karya Bapak Drs. H. Asep Nurlael - yang telah diakui oleh Pemda Kota Bandung). Pada kopeah tadi tidak memakai asesories apapun (sebab kopeah Bandung sudah terbuat dari ornamen anyaman yang indah), kecuali bila menggunakan kopiah beludru biasa bisa memakai bros kecil.
Sebagai ciri khas bahwa orang itu adalah Mempelai Pria yaitu dengan menggunakan tali bandang yang berjuntai dari leher dan ujungnya dimasukkan ke dalam saku sebelah kiri bawah (sebaiknya yang berwarna perak bukan warna mas). Bisa pula ditambah dengan memakai rantai arloji untuk dimasukkan ke saku atas sebelah kiri.
Warana sarung poleng terserah kepada selera mempelai dan juru rias. Sebaiknya bukan SONGKET , tetapi sarung POLENG motif Sunda ( Camatan, Majalayaan ). Dodot Poleng tidak menggunakan asesories lainnya (jadi tidak perlu memakai pernik-pernik, payet, dll). Alas kaki dapat menggunakan selop, tarumpah, sepatu (pantofel dengan berkaus kaki).
Bila akan digunakan oleh ayahanda mempelai, perbedaannya yaitu tidak memakai TALI BANDANG.
DODOT POLENG pantas digunakan untuk pakaian formal para pejabat/ birokrat, karena akan terlihat maskulin, anggun serta Islamik. Bisa digunakan dalam kesempatan beraktifitas pada hari-hari tertentu. Bila suasana kerja sangat aktif/mobile , ujung dodot yang terjuntai diselipkan ke pinggang. Sehingga memudahkan dalam gerak, nyaman dipakai untuk mengendari kendaraan apapun. Bisa pula sewaktu-waktu sarung dodot poleng itu digunakan sebagai sajadah bila bersembahyang.
Salah satu tujuan yang ingin dicapai dengan terosialisasikannya Pakaian Dodot Poleng antara lain:- Pemakai menjadi percaya diri (dengan berkopeah, bersarung, bertakwa, bercelana panjang, bersepatu; ini hampir serupa dengan pakaian Melayu lainnya)
- Memberi nuansa religius, terutama bila digunakan oleh mempelai yang akad nikah dilaksanakan di mesjid.
- Memberi corak yang khas Tata busana Pria Sunda yang religius.
- Mengabadikan/menghidupkan karya tenun sarung poleng yang dulu pernah menjadi kebanggaan Tatar Sunda dan menjadi komoditi andalan.
- Mensosialisasikan Kopeah Khas Bandung yaitu Kopeah BADAWAL yang kini telah dikenal di mancanegara sebagai cindera mata dari Bandung/Tatar Sunda.
- Menggalakan aspek pariwisata Tatar Sunda.
- Pada suatu waktu diharapkan menjadi Pakaian Formal Para Pejabat Tatar Sunda sebagai penanda otentisitas Kasundaan yang Religius.
- Pemakai menjadi percaya diri (dengan berkopeah, bersarung, bertakwa, bercelana panjang, bersepatu; ini hampir serupa dengan pakaian Melayu lainnya)