Drs. Djaelani Hidayat, Ak.Perekonomian Bisa Hidup Kalau Ada Wisatawan

22 Aug 2001 - 12:00 am

Inohong Sunda yang muncul kali adalah Drs. Djaelani Hidayat, Ak. Beliau pernah menjabat sebagai Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya pada masa awal pemerintahan Presiden K.H. Abdurahman Wahid.

Drs. Djaelani Hidayat, Ak. Merupakan sosok pribadi yang telah lama mengabdi di PT. Pos Indonesia, dengan jabatan terakhir sebagai Direktur Keuangan. Saat ini beliau dipercaya memegang amanah sebagai salah seorang Komisaris di BUMN tersebut.

Djaelani Hidayat dilahirkan pada hari Minggu tanggal 16 Juni 1937, di Kampung Ciburial Padalarang Kabupaten Bandung. Ayahnya bernama Rd.H. Ukon Mustopha dan ibunya Hj. Siti Satiah.

Masa kecil Hidayat dihabiskannya di tempat kelahirannya yakni Padalarang. Saat memasuki usia SD Hidayat kecil dibawa "ngumbara" oleh kedua orang tuanya ke daerah Plered Wilayah Purwakarta sampai kelas 4 SD. Sejak kelas 4 sampai kelas 6 SD Hidayat menempuh pendidikannya di SD Bojong.

Tempat tinggalnya saat itu di Kampung Cineam Kecamatan Wanayasa yang jaraknya ke sekolah sekitar 4 Km. Saat itu Hidayat menempuh perjalanan ke sekolah dengan jalan kaki setiap harinya. Penugasan ayahnya sebagai guru membuatnya sering berpindah tempat termasuk ke Wanayasa karena ayahnya mendapat tugas sebagai guru di SD Bojong.

Hidayat dalam kesehariannya berpenampilan low profile dan "handap asor". Dengan penuh suka cita Hidayat menceritakan masa kecilnya yang penuh kenangan.
Sewaktu di Plered mulai dari kelas 1 sampai dengan kelas 4 SD, Hidayat kecil tidak pernah masuk ranking di kelasnya. Mungkin hal itu disebabkan Hidayat kecil tinggal bersama pamannya dan jarang mendapat teguran ataupun perhatian khususnya dengan masalah sekolahnya.

Setelah di kelas 5 SD barulah Hidayat menempati ranking pertama. Sedangkan sewaktu di kelas 6 SD menempati ranking kedua, karena yang menjadi juara pertama pada waktu itu adalah putera Kepala Sekolahnya. Keinginan untuk melanjutkan sekolah ke SGB begitu menggebu di benak Hidayat.

Saat itu SGB merupakan sekolah "rebutan". Keinginan tersebut ternyata kandas. Karena saat diperiksa oleh pihak sekolah, ditemukan tanda putih disalah satu bagian tubuhnya. Menurut kepercayaan gurunya hal ini tidak akan membawa kebaikan. Sebagai alternatif lainnya, Hidayat melanjutkan pendidikannya ke salah satu SMP di Kota Purwakarta dan tinggal bersama uanya di Plered.

Setiap hari Hidayat muda pulang pergi Plered-Purwakarta menggunakan Kereta Api yang saat itu ditempuh sekitar 1 jam. Menginjak kelas 2 sampai dengan kelas 3 SMP Hidayat muda kos di Kota Purwakarta yang tidak jauh dari sekolahnya.
Masih diingatnya biaya kos saat itu sebesar Rp.80 setiap bulannya. Dalam menghemat biaya serta untuk mengikuti keinginannya yang menggebu sehingga bisa lebih maju, Hidayat rela menyisihkan uang sakunya untuk membeli buku-buku terutama buku Bahasa Inggris.

Selepas SMP Hidayat bekerja di Kantor Pos Bandung yang pada waktu itu masih bernama Kantor Pos dan Telegraf I Bandung. Masih diingatnya, untuk pertama kali ditempatkan di Kantor Pos dan Telegraf I Bandung tanggal 25 Agustus 1955 di bagian sortir surat dan loket.

Untuk meningkatkan kemampuannya, sambil bekerja Hidayat melanjutkan sekolah ke SMA Jayabaya di Jl. Balonggede Bandung. Tidak lama kemudian Hidayat pindah ke SMA Ksatria jurusan C di Jalan Pabaki Bandung sampai lulus dan meraih rangking pertama.
Lulus SMA sambil bekerja di Pos dan Telegraf Hidayat mengajar di kelas III SMA serta melanjutkan kuliah ke Fakultas Sosial Politik Unpad. Pada usia yang relatif muda ketika 27 tahun, pada tahun 1965 Hidayat telah dipercaya oleh Yayasaan menjadi Direktur SMA.

Berbekal ketekunan serta keuletannya suami dari Ibu Tien Kartini, serta ayah dari lima putera-puterinya yang semuanya sudah mandiri ini, telah mengantarkan dirinya sebagai salah seorang Inohong dan Putera Daerah Terbaik dari Tatar Sunda. Berbekal ketekunan dan daya juangnya yang tinggi Drs. Djaelani Hidayat, Ak. pernah diberi amanah oleh Presiden K.H. Abdurahman Wahid untuk memegang tampuk kepemimpinan sebagai Menteri yang membawahi Departemen Pariwisata, Seni dan Budaya.

Berbicara mengenai kondisi pariwisata di Jawa Barat, Hidayat mengatakan kondisinya masih jauh ketinggalan apabila dibandingkan dengan Yogjakarta. Wisatawan yang datang ke Yogjakarta pada umumnya langsung mendapat suguhan Paket Wisata berupa tontonan Pagelaran Wayang Kulit, Ketoprak, pertunjukan tari, dan lain-lain. Selain berkunjung ke beberapa obyek wisata yang ada, seperti wisata alam, wisata budaya serta wisata industri.

Hidayat juga menyayangkan, pertunjukkan kesenian yang rutin di Jawa Barat hanya Saung Angklung Mang Udjo itu juga berlangsung pada siang hari. Sedangkan pada malam harinya, jarang ada pertunjukkan yang rutin. Hal ini memerlukan adanya koordinasi yang lebih intensif dari Dinas Pariwisata Daerah dengan PHRI (Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia), ASITA (Asosiasi Travel Agen) serta Hotel. Sehingga dapat melakukan pembinaan secara lintas sektoral khususnya dalam melakukan pembinaan terhadap para seniman dan masalah-masalah yang berkaitan dengan kebudayaan.

Perlu kesadaran bersama baik dari kalangan masyarakat maupun aparat birokrat, bahwa wisatawan itu secara ekonomis sangat menguntungkan sebagai penunjang pendapatan devisa negara secara nasional khususnya bagi Wisatawan Mancanegara (Wisman). Sedangkan di Era Otonomi Daerah ini sektor kepariwisataan merupakan andalan utama yang akan memberikan kontribusi terhadap Pendapatan Asli Daerah Setempat (PADS). Dengan demikian roda ekonomi bisa berjalan apabila ditunjang oleh para wisatawan baik yang datang secara rombongan maupun perorangan, apakah itu Wisatawan Nusanatara (Wisnu) maupun Wisman.

Pengalaman kerjanya di PT. Pos Indonesia, Hidayat mengatakan setelah lulus SMA pindah ke Bagian Keuangan dengan Pangkat Golongan IIA. Sewaktu lulus Sarjana Muda pada tahun 1967, pangkatnya naik menjadi Golongan IIC.

Setelah lulus S1 dari Fakultas Ekonomi Unpad, pangkatnya dinaikkan menjadi Kepala Urusan Pembukuan dengan Golongan IIIA. Hal yang masih menjadi kebanggaannya sampai saat ini adalah ketika karyanya berupa pembuatan perhitungan harga pokok tarif Pos dipakai sebagai rujukan yang menjadi bahasan Dirjen Postel dan Menteri Perhubungan yang pada waktu itu masih dijabat oleh Prof.DR. Emil Salim.

Mengenai pandangannya tentang manusia Sunda yang Nyunda, yakni harus handap asor, lemes budi serta bahasanya. Selain itu juga anggah-ungguhnya harus memperlihatkan sebagai orang Sunda serta tidak adigung adiguna yang apabila diterjemahkan secara bebas berarti sombong.

Disayangkannya, pemakaian Bahasa Sunda saat ini sudah jarang dipakai dalam pemakaian sehari-hari oleh Keluarga Sunda. Demikian keprihatinan Drs. Djaelani Hidayat, Ak. Inohong Sunda yang pernah menjabat Menteri.