- NANO S.Lamun jadi Seniman Ulah Hees ku Hese, Kudu Lain jeung nu Lian, jeung Kade Poho Layu sabab Payu
24 Sep 2002 - 12:37 am
Setelah cukup sering menerima permintaan dari rekan-rekan netter agar SundaNet.Com menampilkan figur pencipta lagu-lagu Sunda terkemuka, Guru Karawitan, Penyair serta Penulis Cerita Pendek berbahasa Sunda yang sangat kita kenal ini, sesudah mewawancarai beliau di kediamannya, Sundanet mencoba menampilkan profil tersebut yaitu Kang Nano S.
Tokoh yang mengaku "pituin" orang Garut, walaupun diujung namanya berakhiran "o", putera ke 6 dari 8 bersaudara buah perkawinan dari Bapak Iyan Suwarmo (alm), serta Ibu Nonoh Samanah ini "mengaku" dilahirkan pada tanggal 4 April 1944. Masa pendidikan dijalaninya di SR (Sekolah Rakyat) Sukarasa Gegerkalong Bandung, lulus tahun 1958, SMP PARKI II dan dilanjutkan ke Konservatori Karawitan (KOKAR) Bandung yang kala itu dipimpin oleh Pak Daeng Sutigna. Setelah lulus, Nano muda "dibenum" sebagai guru di SMPN I Bandung, merangkap mengajar di SMPN XV dan KOKAR. Dorongan yang kuat untuk melanjutkan studi menuntunnya melanjutkan ke ASTI pada tahun "70-an" dan berhasil menyelesaikan Sarjana Karawitannya di tahun 1979.
Menurut penuturan ayah 2 putera, 1 puteri serta kakek 3 orang cucu buah perkawinannya dengan Ibu Dheniarsah ini, kiprah dibidang keseniannya diawali dengan menggabungkan diri pada kelompok kesenian Gandamekar pimpinan Mang Koko pada tahun 1964. Awalnya Nano. S menciptakan lagu-lagu karawitan Sunda dalam wanda kawih yang ditujukan untuk pendidikan di sekolah, baik SD maupun Sekolah Lanjutan. Selain itu Nano. S mampu menciptakan lagu-lagu untuk para remaja yang bertemakan cinta yang romantis. Namun beberapa tahun berikutnya, teman seangkatan Ibu Tati Saleh sewaktu sekolah di KOKAR ini mendirikan Kelompok Seni sendiri, yaitu Gentra Madya (tahun 1972). Salahsatu pergelarannya diantaranya saja "Prak Piling Kung", atau Keprak, Kacapi, Suling dan Angklung. Dalam Festival komponis Muda Indonesia yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta, komposisi Nano yang berjudul "Sangkuriang", mendapat perhatian sebagai komposisi yang sarat dengan kekuatan akar etnis karawitan Sunda yang penuh inovasi (tahun 1979). Tokoh yang proses perjalanannya sebagai seniman mengakui banyak mendapat didikan dari Pak Daeng Sutigna, Mang Koko dan Pak Pepe Syafei ini, pernah menjadi Fellow di Japan Foundation selama 1 tahun, tepatnya di Tokyo Gedai. Diantara garapannya selama di Jepang yaitu memperbandingkan tangga nada Sunda dan Jepang, terutama antara kacapi dan kotochi serta memetik Samisen, yang selanjutnya membuat kolaborasi alat-alat tersebut pada ciptaannya. Tahun 1990, Nano juga pernah diundang oleh Departemen Musik Universitas St.Cruz untuk mengajar dan membuat pergelaran dalam "Spring Fair Performance". Keprofesionalannya terbukti ketika ia diminta oleh "Mien On", Impresariat Kesenian yang besar di Jepang untuk mengadakan pertunjukan kesenian Sunda diberbagai kota di seluruh Jepang selama 40 hari dengan melakukan 22 kali pertunjukan yang kesemuanya berjalan sukses. Melalui muhibah kesenian Sunda ke luar negeri, telah membawa dirinya mengunjungi lebih dari 20 negara.
Popularitas Nano lainnya terutama dikenal melalui album-album rekaman kasetnya yang banyak diminati masyarakat. Diantaranya kaset yang "meledak" di pasaran adalah "Kalangkang" (tahun '89) yang dinyanyikan Nining Meida, "Cinta Ketok Magic" ('92) oleh Evie Tamala dan "Cinta" oleh Hettie Koes Endang, sehingga mendapat HDX Award di tingkat Nasional. Meskipun lagu-lagu Nano berangkat dari Karawitan Sunda, namun dengan cepat memperoleh penggemar di seluruh Indonesia. Jadi tidak hanya di kalangan orang Sunda saja. Apalagi sesudah lagu tersebut dijadikan Pop Sunda. Kang Nano yang mengakhiri masa pengabdiannya sebagai Kepala Taman Budaya Propinsi Jabar dengan pensiun pada tahun 2000 ini memiliki motto dalam hidupnya sebagai seniman, yaitu " Lamun jadi Seniman ulah Hees ku Hese, Kudu Lain jeung nu Lian,jeung Kade Poho sabab Payu" yang artinya kalau jadi Seniman jangan tertidur karena susah harus lain dari pada yang lain, dan jangan lupa diri atau lupa keruntuhan karier karena merasa telah eksis.