SARITILAWAH NURHIDAYAH, KARYA BESAR MISKIN APRESIASIOleh: Iip Dzulkifli Yahya *

20 Dec 2002 - 11:55 pm

Setelah lebih dari tiga tahun usai penggarapannya, Saritilawah Nurhidayah (SN) anggitan Hidayat Suryalaga (HS), terasa masih miskin apresiasi. Saritilawah dari tiga puluh juz Al-Quran itu sosialisasinya masih terbatas.
Resensi melalui media ataupun diskusi ilmiah untuk membedahnya, hampir tak terdengar. SN cenderung beredar dari mulut ke mulut di lingkungan terbatas. Sebagai sebuah karya besar dalam bahasa Sunda, penyikapan demikian amat memprihatinkan.

Kerja sastra selama tigabelas tahun sungguh suatu prestasi mengagumkan. Tidak banyak sastrawan yang mampu mempertahankan energi kreatif untuk sebuah karya selama itu. Dalam kasus SN, tampak bahwa berkah Al-Qur'an telah memberikan limpahan energi kepada seorang HS. Hal ini menarik dalam konteks memperbincangkan sejauh mana keberislaman 'manusia' Sunda. Seberapa jauh Islam telah menggerakkan energi kreatif orang Sunda untuk melakukan sesuatu di luar budaya primordialnya.

Sebagai agama yang datang kemudian, Islam adalah unsur 'luar' bagi orang Sunda. Maka keberislaman orang Sunda dapat diukur dari karya yang dihasilkan atas perpaduan unsur 'dalam' sebagai fitrah masyarakat Sunda, dan unsur 'luar', yakni Islam. Di sinilah kerja besar HS itu terlihat menjadi sangat penting. HS telah memberikan spirit positif, bahwa unsur 'luar' itu bisa ditembus, diselami, ditaekan, oleh orang Sunda, justru dengan kesundaannya. Akulturasi ini begitu berharga, di tengah dikotomi Islam-Arab dan Islam-lokal yang tetap menguat.

Untuk menamatkan bacaan Al-Quran sebulan satu kali, seorang muslim perlu membacanya satu juz sehari. Untuk itu, ia memerlukan waktu antara 30 hingga 60 menit. Sungguh tidak mudah dilakukan di tengah kesibukan yang menghimpit.
Karenanya tidak banyak yang bisa melakukan hal itu. Terkadang untuk khatam setahun sekali pun seorang muslim tak bisa mencapainya. Bahkan tidak sedikit yang seumur hidupnya belum pernah khataman. Dari alur ini bisa dibayangkan ketekunan seorang HS yang mampu menyelesaikan garapan saritilawah 30 juz Al-Quran selama 13 tahun. Dari kalangan muslim Sunda, harus diakui, baru dia yang mampu melakukannya. Maka sudah sepatutnya jika SN mendapatkan tempat terhormat sebagai karya sastra islami yang langka.

Garapan SN diawali oleh kegelisahan HS sebagai sastrawan Sunda. Dalam berbagai pertemuan ilmiah di mana ia menjadi narasumber atau instruktur, selalu dilontarkannya satu pertanyaan, apakah peserta pernah menamatkan bacaan terjemahan Al-Qur'an? Jawaban rata-rata yang diperoleh adalah 'tidak pernah'. Dari jawaban itulah ia menelisik sebab-musababnya. Dan ia menemukan betapa kakunya bahasa terjemahan Al-Quran yang beredar di tengah masyarakat.
Jangankan menamatkan, untuk memahami terjemahan satu-dua ayat saja perlu bacaan yang berulang-ulang. Kalau bisa dipermudah pemahamannya, mengapa harus kaku memegang yang sulit dimengerti? Demikian kira-kira dasar pemikiran HS saat mengawali kerja kreatifnya. Lalu ditemukanlah pupuh Sunda sebagai mediumnya.

HS bekerja dengan keyakinan bahwa sebagai sastrawan, ia berkewajiban untuk membuat terjemahan Al-Quran yang bisa dipahami oleh masyarakat Sunda. Fokus kerjanya adalah terjemahan Al-Quran yang beredar luas di masyarakat, baik yang berbahasa Indonesia maupun Sunda. Dari terjemahan itulah ia mengolahnya menjadi saritilawah dalam bentuk pupuh. Dalam perjalanan awalnya, SN sempat digugat sebagai karya bid'ah. Apalagi dikerjakan oleh seseorang yang tidak menguasai perangkat ilmu bahasa Arab dan tafsir. Gugatan yang pernah menimpa HB Jassin karena Bacaan Mulia-nya, dialami pula oleh HS. Namun secara perlahan, rekomendasi dari MUI dan Depag Jabar berhasil diperoleh juga.

Sebagai sosialisasi, HS membentuk majlis malem Reboan di kediamannya, Sukaasih, Ujungberung. Seorang peserta yang fasih membaca Al-Quran dimintanya membacakan ayat tertentu. Lalu saritilawahnya ditembangkan diiringi kacapi-suling. Setelah itu peserta lain yang menguasai tafsir diminta memaparkan kandungan ayat tersebut. Jika ada rujukan dalam khazanah budaya Sunda, HS akan menambahkannya sebagai penjelasan bandingan. Kemudian dilanjutkan dengan ayat berikutnya.

Dari paparan singkat majlis malem Reboan itu, terlihat bahwa SN memang memerlukan satu komunitas tertentu. Artinya mengkaji SN tidak bisa sagawayah. Paling tidak ada empat kelompok yang harus terlibat dalam kajiannya; pembaca Al-Quran yang fasih, pemain kacapi-suling, penembang, dan ahli tafsir. Dari sinilah bisa dimengerti mengapa perjalanan sosialisasi SN sangat lambat. Sebab SN tidak cukup sekedar ditembangkan diiringi kacapi-suling. SN memerlukan setidaknya empat pihak yang bisa saling mengerti dan menerima. Hal ini yang sungguh tidak mudah. Majlis malem Reboan pun tidak selalu dapat mempertemukan keempat pihak ini. Dengan demikian, kajian atas SN memang memerlukan waktu dalam rentang yang --boleh jadi-- masih lama. Terkecuali jika ada pesantren yang bisa menerima budaya Sunda 'seutuhnya'. Misalnya dapat menerima kacapi-suling sebagai bagian dari pengajaran santri dalam memahami Al-Qur'an. Dan sejauh ini tampaknya belum ada.

Jalan tengahnya adalah meyakinkan IAIN agar bisa mengadopsi metoda ini. Pertanyaannya, apakah IAIN dan perguruan tinggi sejenis mau peduli dengan kerja budaya seperti ini? Satu pertanyaan yang untuk menantikan jawaban konkritnya, bagi orang awam, ibarat menunggu godot. Atau perguruan tinggi seperti UNPAS yang harus tergerak untuk mewujudkan sinergi itu. Dengan aset yang dimilikinya, pengelola UNPAS hanya tinggal membutuhkan goodwill. Jika berkenan, UNPAS dengan mudah bisa menghadirkan keempat komponen qari-penembang-pamirig-mufassir itu. Lalu mahasiswa semester tertentu diwajibkan menyimaknya. Namun lagi-lagi, maukah pengelola UNPAS menseriusi kerja yang tidak profit seperti ini?
Menunggu jawabannya, seringkali membuat orang awam, garo-garo teu ateul. Walhasil, jika perjalanan waktu bisa mempertemukan keempat komponen itu dalam sebuah majlis secara rutin, maka SN dapat dikaji secara komprehensif. Semakin banyak majlis sejenis, kian luas pula publik yang bisa mengapresiasi SN. Selama keempatnya masih patukang-tonggong, SN tetap sulit diapresiasi publik yang lebih luas.

Sebagai seorang sastrawan, HS telah membuktikan tugas pentingnya, yaitu berkarya. Dan sebagai karya sastra, SN sangat layak untuk dimasukkan sebagai salah satu karya sastra terbaik berbahasa Sunda dalam kajian Al-Qur'an. Bahwa SN masih miskin apresiasi, adalah persoalan lain. Setiap karya besar memang menanggung risiko tidak bisa segera diterima oleh masyarakat sezaman.
Karya-karya Haji Hasan Mustapa (HHM) adalah sebuah contoh. Barangkali tepat juga jika HS ber-tafaul kepada HHM ketika mengatakan bahwa karyanya akan digali, dikaji, dan didalami oleh nonoman Sunda kelak, ketika perangkat ilmiah mereka sudah mumpuni. Semoga.



* Iip Dzulkifli Yahya, pemerhati kesundaan, tinggal di Jogjakarta.