WANITA DENGAN PERANNYAOleh: H.R. Hidayat Suryalaga

24 Dec 2002 - 11:12 pm

Tulisan ini sebagai suatu upaya mencari "KABERKAHAN" dari peran seorang IBU/WANITA berdasarkan Folklor Sunda dan kajian kasus per kasus. Semoga bermanfaat bagi perbincangan kita dalam arus "persamaan hak dan gender" yang kini hangat dicelotehkan orang.

Tulisan yang tidak berpretensi ilmiah ini saya persembahkan kepada semua wanita, sebagai rasa hormat dan kagum kepada insan yang ditakdirkan menjadi wanita. Wacana ini penulis susun sebatas menelusuri dan mengkaji nilai-nilai luhur mengenai kedudukan dan peran wanita yang terjumpai dalam folklor Sunda. Pada akhirnya diharapkan kita semua faham bagaimana "ngalap berekah" dari insan yang ditakdirkan menjadi wanita. Bukankah kata leluhur Sunda "ARI MUNJUNG ULAH KA GUNUNG, MUNJUNG MAH KUDU KA INDUNG".

Secara singkat perngertian Folklor adalah: Folklor < folklore < volk = kelompok, masyarakat; lore = kebudayaan yang dimiliki kelompok/masyarakat. Banyak definisi para pakar mengenai folklore, antara lain pendapat Prof.Dr. Diana Nimpoeno Moeis (1993) yakni: Sebagian dari kebudayaan masyarakat (kolektif) yang menyebar secara tradisional, turun temurun dalam bermacam versi, baik lisan maupun perilaku, berupa isarah maupun menggunakan alat bantu untuk dijadikan peringatan (mnemonic device).
Harapan yang ingin penulis gapai dari penyampaian wacana ini antara lain: "Bagaimana upaya kita bersama dalam menyiasati peran Wanita pada masa sekarang dan yang akan datang, agar kehidupan ini selalu mendapat berkah".


KEDUDUKAN/PERAN WANITA MENURUT FOLKLORE LISAN SUNDA

Dalam bagian ini saya kemukakan tiga cerita lisan (Mithologi dan Legenda), yaitu Cerita Pantun Lutung Kasarung, Munding laya di Kusumah dan Legenda Sangkuriang.


  1. Dalam mithologi Masyarakat Sunda, tokoh SUNAN AMBU sangat terkenal. Secara etimologi kata SUNAN berasal dari SUHUNAN = yang disuhun di atas kepala, mengandung makna yang sangat dihormati. AMBU = EMBU = IBU. Jadi yang sangat dihormati itu adalah IBU ( wanita). Tokoh Sunan Ambu ini berkedudukan di Kahiyangan, yaitu suatu tempat yang tinggi dan suci penuh dengan ketenteraman dan kedamaian seperti yang tergambarkan dalam cerita pantun Lutung Kasarung - LK - (Purbasari Ayu Wangi) dan Pantun Mundinglaya di Kusumah - MdK -. Bila menyimak esensi kedua carita pantun di atas dapat ditarik simpulan bahwa peran wanita adalah:

    • Insan yang sangat tinggi kedudukannya.
    • Sangat terhormat, menguasai kesaktian.
    • Pusat/tempat meminta bantuan baik secara psikis maupun fisik.
    • Ikut menentukan jalan kehidupan tokoh-tokoh cerita.

  2. Dalam Legenda Sangkuriang. Tokoh utamanya adalah wanita bernama DAYANG SUMBI. Dayang < Danghyang < dang = honorofik/kata sapaan hormat; hyang = gaib; Sumbi = alat dari bambu untuk mencucuk hidung kerbau (ditendok) agar kerbau menjadi penurut. Banyak orang menganalogikan cerita Sangkuriang ini dengan cerita Odiphus dari Yunani. Padahal ada perbedaan filsafat yang sangat mendasar antara kedua legenda itu. Esesensi cerita Sangkuriang antara lain pencarian AKU Lahir (=Sangkurang) dalam kerinduannya untuk menjumpai Aku Batin (=Dayang Sumbi). Simpulan peran Wanita (yang ditokohkan Dayang Sumbi) dalam cerita Sangkuriang:

    • Memberi arah petunjuk (tendok) bagi puteranya.
    • Petunjuk itu diwujudkan dalam perilaku ibunya (Dayang Sumbi).
    • Manakala sang ibu salah dalam memberi contoh berperilaku (a.l berbicara tanpa difikir, cepat marah, memukul, mengusir) maka akan berakibat fatal, sehingga sang anak dalam perjalanan hidupnya tidak lagi mengenal figur IBUNYA. Jadi Legenda Sangkuriang, membiaskan suatu gambaran seorang ibu yang salah dalam mengasuh anaknya.

KEDUDUKAN/PERAN WANITA MENURUT FOLKLORE NON LISAN SUNDA

Dalam bagian ini saya mencoba menalaah perlambangan peran Ibu/Wanita dalam benda benda budaya, yaitu (contohnya):

Kacapi Indung dalam karawitan Tembang Sunda Cianjuran. Kacapi indung, disebut juga kacapi gelung atau kacapi parahu. Penamaan ini mengacu kepada bentuk fisik kacapi tsb, yaitu karena mempunyai gelung (diasosiasikan wanita), berbentuk perahu (perlambangan perahu dalam kosmologi Sunda dimaknai sebagai manusia); disebut kacapi indung karena bentuknya lebih besar (gemuk=lambang kesuburan) dan mempunyai perangkat lain yaitu "inang" (lambang mamae). Berdawai (kawat) 18 atau 20, tetapi yang umum adalah 18 (17 + 1) dimaknai sebagai 17 raka'at shalat dan bilangan 1 dimaknai "Allohhu-Akbar". Bila berdawai 20 dimaknai sifat duapuluh dari Allah SWT.
Kacapi indung ini akan disertai dengan kacapi incik (kacapi anak). Kacapi anak ini baru bisa dimainkan bila kacapi indung sudah laras nadanya atau sudah benar surupannya. Bila kecapi indung sudah benar larasnya, maka kacapi anak pun dapat pula mengikutinya. Simpulan yang didapat dari filsafat kacapi, ialah hanya seorang ibu yang telah mampuh memberi contoh berperilaku kehidupan yang laras dan benar yang akan memberi contoh kehidupan bagi anaknya. Selama ibunya masih belum selaras dan benar dalam peri kehidupannya, maka sang anak tak akan mampu menembangkan irama
kehidupannya dengan baik dan benar.


KEDUDUKAN/PERAN WANITA DALAM BEBERAPA KASUS YANG UNIK

Di bawah ini ada beberapa kasus yang faktual serta aktual yang penulis alami/lihat sendiri; dan memberi arti sangat khusus bagi kedudukan/peran wanita. Kasus ini penulis sampaikan secara naratif atau berbentuk penceritaan.

Kasus Pertama
Pada tahun 1961 saya menyaksikan sendiri wafatnya seorang Sesepuh (60th). Beliau ketika hidupnya seorang pejabat, dari keluarga baik-baik. Ketika ayah bundanya masih hidup beliau sangat hormat dan berbakti. Ibundanya meninggal tahun 1948. Pada saat meregang nyawa (sakarat), saya dengar sendiri apa yang dikatakan dalam ketidak sadarannya: "Embu... Embu... Adang mah hoyong diais... Embu... pangkon Adang... pangkon..." (Ibu... Ibu... saya ingin digendong. Ibu gendonglah saya... gendonglah saya...). Kedua tangannya teracung seperti seorang bocah yang meminta digendong ibunya. Sungguh mengharukan sekali.

Kasus Kedua
Pada tahun 1984, di Bandung wafat seorang tokoh Sunda. yang dianggap sebagai Local Genius. Pejuang Th 1945. Beliau terkenal keberaniannya. Dalam dirinya tak mengenal kata TAKUT. Ketika beliau akan wafat (sakarat), saya berkesempatan menungguinya. Yang diucapkan oleh beliau sungguh sangat menggetarkan hati, beliau berguman dengan jelas:
"Ema... Ema... iyyy sieun... Ema... Ema... sieun. Tulungan Ema, tulungan! Sieun... Ema sieun!" (Ibu... Ibu... takuuut... Ibu... Ibu... takut. Tolonglah Ibu, tolonglah saya! Takut... Ibu takut!).
Bila kita simak, mungkin dua kasus faktual ini bersifat sudah melintasi dunia transendental. Tetapi apa yang dapat kita kaji di sini adalah peran seorang ibu/wanita. Kedua tokoh dalam kasus di atas ternyata ketika hendak melepaskan nyawanya justru yang dihimbaunya adalah IBU-nya dan BUKAN BAPAK-nya.

Pada kasus pertama, bisa kita rasakan getar-getar rasa manja, kasih, haru dari esensi kehidupan seorang putera terhadap ibunya. Jelas sudah peran seorang ibu adalah pusat kasih sayang, pusat ketenteraman lahir dan batin dunia serta akhirat. Pada kasus kedua, betapa kita tersentak, seorang tokoh pemberani yang tak kenal takut tetapi pada saat malakalmaut datang menjemput, justru ketakutannya memuncak. Dan dalam keadaan takut seperti ini hanya FIGUR IBU-lah yang dihimbaunya, dimintainya tolong. Hanya Ibulah tempat berlindung dan menenteramkan hati. Tidak saya dengar sepatah katapun tentang BAPAK.
Untuk kedua kasus di atas saya serahkan kepada para pembaca yang budiman, untuk mengkaji dan menyelami rahasia hidup manusia yang paling dalam dan paling menentukan derajat kehidupannya di alam akhirat nanti, ketika semua mahkluk harus menghadap Hadirat Allah SWT.

Kasus Ketiga
Kasus ini terjadi pada satu keluarga menengah di satu desa agak terpencil di daerah Garut. Satu keluarga sederhana, dengan ayah, ibu dan lima puteranya. Sang ayah meninggal (th 1952) dan putera puterinya masih belum dewasa. Sang ibu yang hanya berpendidikan Sakola Kelas 2 dengan berbekal beberapa pokok pohon jeruk garut, berjuang terus menghidupi putera-puterinya. Hasil yang dicapainya sungguh mengagumkan; tiga orang putera menjadi pejabat yang penting baik di propinsi maupun di Pusat. Puterinya yang dua mampu menjadi figur istri/ibu yang berhasil pula dalam membina keluarganya. Kasus seperti ini terbilang banyak. Yaitu seorang ibu yang ditinggalkan suaminya, mampu mendidik dan menjadikan putera-puterinya menjadi insan-insan yang "berhasil" hidupnya. Bila anda mencermatinya kasus seperti ini akan banyak anda dapatkan. (Ada teman yang berceloteh bahwa dalam situasi yang serupa, teramat jarang seorang Bapa, seorang diri, mampu mendidik/membimbing anak-anaknya sehingga berhasil).

Dari kasus di atas jelas tergambarkan betapa perkasa dan bertanggungjawabnya seorang ibu, seorang wanita yang kadang-kadang sering dianggap insan-insan yang lemah. Penulis pernah bartanya kepada Ibu yang tangguh ini, apa kiatnya dalam memandu kehidupan putera-puterinya. Jawabannya ialah:

  • Beliau setiap selesai shalat selalu memohon lindungan dari Allah SWT.
  • Selalu mengadakan dialog (komunikasi) yang santun dengan putera-puteranya. Antara lain keberaniannya untuk menegur bila ada perilaku yang dianggapnya tidak pantas, walaupun putera-puteranya itu telah menjadi "orang".

Kasus Keempat
Kasus keempat ini adalah gambaran yang memilukan dari seorang ibu dengan empat orang putranya ditinggalkan kepala keluarganya. Sang ibu tidak mempunyai keterampilan apapun. Yang dikerjakan selanjutnya untuk kelangsungan keluarganya adalah menyuruh putra-putrinya untuk mencari uang walaupun dengan cara yang tidak dibenarkan hukum dan moral. Kasus seperti inipun terbilang cukup banyak terjadi di masyarakat kita. Alangkah menyedihkan dan mengenaskannya. Dalam kasus seperti ini, jelas terpampang bahwa seorang wanita/ibu yang tidak mempunyai keterampilan dan ketahanan kepribadian, akan sangat menderita dan pada gilirannya bisa menghancurkan kehidupan lahir batin anak-anaknya.

Kasus Kelima
Kebetulan saya simak acara Fokus Kita di TV (tahun 1994), tentang pembantu yang melarikan anak majikannya. Majikannnya itu seorang wanita karir yang berkibar namanya. Ada pun pembantunya hanya seorang wanita desa yang lugu. Terngiang yang dikatakan pembantu itu ketika ditanya yang berwajib mengapa melarikan anak majikannya, dia katakan: "Saya benci kepada ibunya, dia bukan seorang ibu yang bertanggungjawab terhadap anaknya. Anaknya sakit dibiarkan, anaknya minta disayang diacuhkan. Padahal dia adalah ibunya, dia yang mendapat amanat dari Alloh untuk memelihara anaknya. Maka anak itu saya bawa lari saja. Saya jauh lebih sayang dari ibunya sendiri". Begitulah yang diucapkan pembantu tsb.
Menyimak kasus ini apakah yang tersirat? Kalau pun akan kita jawab mungkin hanya sebangsa justifikasi, pembenaran atas kelalaian kita.

Kasus Keenam
Seorang wanita bergelar Prof.Dr dengan sederet gelar lainnya. Suaminya tak bergelar akademisi. Tetapi di rumah dalam keperluan yang berkaitan dengan suaminya, selalu ditanganinya sendiri, tak pernah menyuruh pembantunya. Di dalam pertemuan yang bersifat umum, tak pernah melangkahi kata suaminya. Putera-puterinya pun sangat menghormati ayahnya, karena melihat sikap ibunya begitu santun terhadap suaminya.

Kasus Ketujuh
Sang suami sibuk mengejar karier, sang istri tak kalah sibuk dengan seabreg kegiatan. Sang anak asyik dengan cara hidupnya sendiri. Kata orang dibeberapa panti dan pesantren, terbilang banyak putra-puteri kita yang terkapar menjadi korban kehidupan karena kehilangan arahan dan kasih sayang ayah bundanya. Dalam kasus ini terlihat jelas ketidakberhasilan keluarga dalam menjalankan perannya. Sang ayah kehilangan peran bapak dan sang ibu kehilangan peran keibuannya.

Kasus Kedelapan
Seorang ibu muda, aktifis organisasi wanita, tengah mengambil S3, berbincang dengan penulis tentang kegalauan dan kesedihan hatinya karena putera dan puterinya yang masih kecil lebih dekat dan lengket kepada pengasuhnya dari kepada ibunya. Setelah si ibu muda itu puas mencurahkan isi hatinya, saya tanya: "Jadi sebaiknya bagaimana sikap Anda sekarang?" Aneh bin ajaib si ibu muda itu dengan tangkas mampu menjawabnya sendiri, disertai dengan arugmentasi sosiologi anak yang aduhai, dia bilang bahwa dia harus:

  • Lebih kerap mengadakan komunikasi dengan anaknya. (Komunikasi bahasa, telepon, SMS, secarik surat, isyarat, sentuhan nyanyian, bercerita, dsb).
  • Memberi perhatian (atensi) yang intens (kegemarannya, makanan, mainan dsb).

Bila menyimak jawaban dari ibu muda di atas, sebenarnya para ibu secara instinktif telah dan tahu apa yang harus dikerjakannya sebagai seorang ibu. Mungkin yang diperlukan sebenarnya hanya motivasi dan rasa simpati serta kesediaan berbagi rasa di antara seluruh anggota keluarga.


KACA BENGGALA SEBAGAI SIMPULAN

Bila kita amati, seibarat meletakan kasus per kasus serta kajian folklore di bawah kaca benggala (kaca pembesar), dengan jelas kita dapat melihat sosok peran seorang wanita/ibu yang ideal, peran ibu yang tidak berhasil maupun yang berhasil sebagai dirinya pribadi, sebagai ibu rumah tangga, sebagai pendidik dan panutan hidup anak-anaknya, sebagai agent of civilization, agent of humanism.

Simpulannya tak lain terpulang kepada pribadi masing-masing para wanita/para ibu dalam berperan sebagai insan yang demikian sakral, agung, suci dan sangat berat tanggungjawab lahir-batin dunia akheratnya. Untuk itu marilah kita, terutama para wanita menyimak getar-getar kata hati atau nurani masing-masing. Sebab nurani (katahati) adalah petunjuk bagi setiap insan. Ini meminta kearifan dan ketulusan hati yang teramat dalam.



Bandung, 1994-2002.