TATAKRAMA SUNDAPeran dan Manfaat Tatakrama Sunda dalam Masyarakat yang Berubah dan Majemuk

17 Feb 2003 - 2:43 am

Pembahasan mengenai tatakrama (etiket, sopan-santun) cukup luas jangkauannya. Bagaimana tidak, sebab tatakrama melingkupi seluruh perilaku kehidupan manusia. Dapat dikaitkan dengan: jenis kelamin (pria-wanita), umur (tua-muda), waktu (masa lalu-kini), situasi (gembira-sedih), kesempatan (resmi-tidak resmi) dan sebagainya. Keseluruhan pengelompokan inipun dapat pula dikaji berdasarkan tatakrama religi (agama), falsafah (etika) dan sosio (masyarakat).

Setiap pembahasan tatakrama, sebaiknya diperjelas landasan pijakannya, apakah religi, fisafat ataukah sosio, meskipun pada kenyataannya ketiga unsur tersebut tetap merupakan kesatuan. Tetapi hal ini perlu untuk menyamakan sudut pandang penulis dan pemerhati. Dalam wacana ini saya menitik-beratkan pembahasan tatakrama berdasarkan sosio-kultural, khususnya Sunda dalam situasi masyarakat yang berubah dan majemuk

Masyarakat selalu berubah, sehingga norma atau ukuran dari perilaku kehidupan masyarakat pun ikut pula berubah. Perubahan perilaku masyarakat ini adalah alami, maka akan terdapat pergeseran yang menuju arah positif tetapi tidak sedikit yang membawa ke arah perkembangan negatif bagi peradaban bangsanya.

Demikian pula homoginitas suatu etnis mengalami perubahan yang menjadi sedemikian cairnya, sehingga lama-kelamaan berubah menjadi masyarakat heteroginitas (majemuk). Persinggungan budaya dari bermacam etnis ini menimbulkan kompleksitas permasalahan budaya. Termasuk pula norma-norma tatakrama Sunda apa saja/mana saja yang dapat/perlu tetap dipertahankan keberadaannya dalam budaya globalisasi dan majemuk ini. Sehubungan dengan ini, tatakrama dapat dikaji pula dengan hubungan peran dan manfaat tatakrama Sunda dalam kaitannya dengan pergaulan regional Tatar Sunda (khususnya Parahiangan), nasional dan internasional.


Tatakrama Sunda dan Peranannya dalam Kualitas Bangsa

Sinonim kata "tatakrama", yaitu sopan-santun. Jadi tatakrama Sunda berarti "sopan-santun menurut norma orang Sunda". Bila dipertajam lagi, norma orang Sunda yang mana? Saya cenderung mengacu kepada norma "urang Sunda nu ilahar" (biasa,umum). "Ilahar" dalam arti "kelompok besar yang cenderung seragam dalam perilaku sopan-santunnya", ini mengacu kepada sosio-kultural secara geografis (Tatar Sunda, Parahyangan).

Tatakrama atau sopan-santun adalah hasil proses pengadaptasian seseorang dalam bersosialisasi. Jadi tatakrama dapat dipelajari. Oleh karena itu tatakrama seseorang sangat erat kaitannya dengan kebiasaan "sopan-santun" yang diadaptasi dari lingkungan keluarga, lingkungan hidupnya dan tidak terlepas dari kemampuan seseorang dalam menyerap nilai-nilai sopan-santun yang ada di lingkungan sekitarnya.

Seseorang yang kurang peka dalam bermasyarakat, terlebih lagi bila menutup diri, maka dia akan kehilangan kesempatan untuk mampu bertatakrama sesuai dengan masyarakatnya, ia akan tercabut dari akar budayanya dan pada gilirannya akan merasa asing di tengah masyarakat budayanya sendiri. Alangkah sepi dan sunyinya manusia yang menyendiri di tengah keramaian manusia lainnya.

Peran tatakrama bagi masyarakat sesuatu etnis seperti yang dikatakan oleh orang bijak bahwa: Kehormatan suatu masyarakat di antaranya tergantung pada tatakrama yang berlaku dalam masyarakat itu. Seandainya masyarakat Sunda menghadapi kekacauan dalam tatakramanya atau bahkan kehilangan tatakrama sama sekali, niscaya akan merosotlah kehormatan masyarakat tsb dalam pandangan bangsa lain. Jadi betapa pentingnya "peran" tatakrama bagi terbentuknya harga diri manusia dan masyarakatnya. Dengan demikian keterpeliharanya tatakrama (a.l Sunda) pada akhirnya menjadi daya dorong dalam mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia.


Sumber Tatakrama

Tatakrama adalah produk dari pembelajaran manusia dalama bermasyarakat, a.l bersumber dari:


  • Agama. Agama merupakan sumber pengetahuan tatakrama yang sangat berperan dalam membentuk karakter manusia.
  • Nurani. Nurani adalah fakultas dalam diri manusia yang selalu mempertahankan kebenaran, tidak pernah berbohong. Dengan aspeknya yaitu aspek index, yudex dan vindex.
  • Keluarga. Tentang peran keluarga kita telah faham. Keluarga yang sakinah, mawaddah wa rohmah, berkemungkinan besar untuk membentuk anggota keluarganya bertatakrama baik.
  • Lingkungan. Lingkungan alam maupun lingkungan pergaulan akan membentuk pola tatakrama tertentu bagi seseorang.
  • Adat istiadat. Setiap bangsa/etnis mempunyai adat istiadat masing-masing, akan mempunyai tatakrama tertentu hasil kesepakatan masyarakatnya. Maka bila ada orang yang tidak menyesuaikan diri dengan norma tatakrama masyarakatnya akan dikatakan "mahiwal".
  • Kebiasaan. Kebiasan yang dijalankan terus menerus, pada akhirnya akan menjadi sumber tatakrama.
  • Peradaban Bangsa (civilasasi). Peradaban bangsa yang telah maju akan menjadi sumber acuan peradaban bangsa yang masih dalam taraf berkembang.

Sekarang pembicaraan akan saya fokuskan sekitar Tatakrama Urang Sunda.
Dalam kaidah tatakrama Urang Sunda ada beberapa unsur yang sangat mengikat, yaitu kemampuan dalam:

  • Bahasa. Variannya: Ragam Halus (B. Lemes), Ragam Sedang (B. Sedeng), Ragam Akrab (B. Loma, Kasar), Ragam bahasa untuk anak-anak (B. Lemes, Budak), ragam ba. Lemes Kampung, Ragam Basa tanggung (B.L. kagok) dan ragam bahasa Kasar Sekali (B. Resag, Garihal).
  • Lagam berbicara (lagu bicara, irama, B.S lentong).
  • Sikap tubuh (body leanguage: kinesik, gesturd; B.S rengkuh).
  • Roman muka (B.S. pasemon).
  • Tata cara pergaulan (etiket lokal, nasional, internasional).
  • Tata busana.
  • Kualitas pengetahuan dan wawasan.
  • Itikad.


Susunan Tingkat Sosial menurut Tatakrama Sunda

Di masyarakat Sunda, prioritas untuk mendapat pelayanan tatakrama secara umum tersusun seperti di bawah ini:

  1. Tingkat kekerabatan (pancakaki). Generasi lebih tua, sesama atau strata lebih muda. Maka digunakanlah kata sandang (Honorifik) sebagai penghormatan; misalnya Aki Jhonny, Nini Sisca, Ua Rahmat, Emang Wahyu, Bibi Nelly, Kang Bobby, Ceu Euis, Teh Imas dsb.
  2. Tingkat Umur. Siapapun bila umurnya lebih tua dari kita, maka harus mendapat prioritas tatakrama, meskipun orang itu seorang pelayan/pramuwisma. Maka digunakan pula kata sandang (honorifik): Aki, Nini, Ua, Emang, Bibi, Akang, Ceuceu, Nyai, Ujang, Asep, dsb.
  3. Tingkat pengetahuan. Siapapun orangnya asal berpendidikan/berpengetahuan lebih tinggi baik formal maupun non formal, diprioritaskan pula untuk disopansantuni.
  4. Tingkat kedudukan sosialnya (status sosial). Siapapun yang mempunyai kedudukan tertentu, dari tingkat ketua RT sampai pimpinan negara, dari petugas terbawah sampai tertinggi, harus disopan-santuni sessuai dengan statusnya.
  5. Tingkat kesejahteraan/kekayaan. Siapapun bila kehidupannya lebih sejahtera, itu mendapat penghoramtan tatakrama pula.

Bila kita simak strata bertatakrama di masyarakat Sunda seperti tertera di atas; strata yang paling tingi adalah kekerabatan dan yang terakhir adalah kesejahteraan lahir/kekayaan duniawi.


Penutup

Dalam wacana ini sengaja saya susun dan paparkan secara rinci dimulai dengan Peran Tatakrama, serta Manfaat Tatakrama. Ada yang bersifat teoritis/wawasan sebagain pula yang bersifat aplikatif. Kedua intisari masalah ini perlu dipertegas lebih awal, agar kita tahu benar kemanfaatan dari yang kita ketahui. Setelah kita ketahui manfaatnya, lalu dikaitkan dengan situasi kehidupan masyarakat yang tengah dialami sekarang, yaitu masyarakat yang heterogin (majemuk) dan terus berubah.

Langkah pertama yaitu meyakini peran dan kemanfaatan tatakrama Sunda. Setelah itu mulailah mempelajari segala sesuatu tentang unsur-unsur Tatakrama Sunda. Langkah berikutnya, unsur-unsur tatakrama Sunda yang telah dipelajari, dipilih dan carilah mana saja yang bisa dan harus tetap dipakai dalam perilaku keseharian, baik dalam pergaulan keluarga, lokal, nasional maupun internasional. Tentu saja dengan catatan bahwa unsur tatakrama Sunda itu harus berkemungkinan/dapat diterima oleh lingkungan yang dimasukinya.

Langkah terakhir, pengetahuan tentang tatakrama Sunda itu harus secara sadar dilatih dan digunakan dalam hidup keseharian. Sebab kemampuan bertatakrama pada dasarnya adalah kebiasaan yang dipakai sehari-hari, hasil proses belajar yang terus menerus. Selanjutnya tularkanlah ke lingkungan sekeliling, mulai dari keluarga sampai masyarakat sekitarnya.

Semoga ayunan langkah kita, akan dapat mewujudkan masyarakat Indonesia yang berakhlakul karimah.
Semoga.



Bandung, 1997- 2003
H.R. Hidayat Suryalaga