ADAT

27 Feb 2003 - 2:46 am

(Ar.adath). Istilah ini dalam budaya Sunda dikenal dalam beberapa arti.
Pertama, dalam arti yang dalam bahasa Arab disebut "urf", yaitu sesuatu yang dikenal, diketahui dan diulang-ulangi serta menjadi kebiasaan dalam masyarakat, berupa kata-kata atau macam-macam bentuk perbuatan. Adat ataupun urf ada yang baik ada pula yang buruk. Salah satu tugas dan tujuan kedatangan agama Islam ialah mengukuhkan adat yang baik dan menghapuskan adat yang buruk.

Bagi umat Islam adat dapat menjadi sumber hukum apabila terdapat padanya tiga syarat:
(a) tidak berlawanan dengan dalil yang tegas dari Al Qur'an dan Hadist.
(b) telah menjadi kebiasaan yang terus menerus berlaku dalam masyarakat.
(c) menjadi kebiasaan masyarakat pada umumnya.

Dalil yang menjadi dasar untuk menganggap adat sebagai sumber hukum ialah ayat Al Qur'an (Q.7:199) dan hadist dari Ibn Abbas yang artinya "apa yang di pandang baik oleh orang-orang Islam, maka pada sisi Allah juga baik".
Dikalangan ahli fikh (hukum) Islam berlaku kaidah al'sadatu mukamah, artinya unsur pembentukannya adalah pembiasaan dalam kehidupan manusia, terus-menerus dan menjadi kelaziman yang ditaati atau dilakukan sejak dulu kala. Adat yang melembaga berisi norma atau nilai perbuatan yang harus dilakukan, barang siapa yang meninggalkannya dapat dihukum oleh masyarakat dengan celaan atau pengucilan.

Kedua, dalam arti kebiasaan yang bersifat seremonial, yakni upacara-upacara yang ada kaitannya dengan kepercayaan lama yang kerap pula dijalin dengan unsur hasil rekaan zaman yang lebih banyak memperlihatkan simbol-simbol masyarakat golongan atas yang berbeda dengan kebiasaan-kebiasaan rakyat golongan bawah yang sederhana.
Seperti tampak pada ADAT NGARIKSA NU REUNEUH (merawat orang hamil), ADAT NGARIKSA NU NGAJURU (merawat yang melahirkan), ADAT NGAWINKEUN (perkawinan), ADAT KAPAPATENAN (kematian), dan upacara lainnya yang biasa disebut RUATAN. Adat macam ini adakalanya bertentangan dengan ajaran Islam.

Ketiga, dalam arti tabi'at (tabe'at) yaitu sifat pembawaan sejak lahir, suatu sifat yang kodrati. Adat dalam pengertian ini berlaku pula untuk binatang, seperti adat kucing, adat anjing atau adat kuda. Ungkapan tradisional adat kakurung ku iga, menampilkan ajaran orang Sunda bahwa adat dalam arti tabi'at ini tak dapat dihapus dengan pendidikan dan pengajaran. Kuda ngadat, yaitu tiba-tiba saja meringkik-ringkik dan meronta-ronta ketika hendak ditunggangi, dapat diartikan sebagai kembali ke adat aslinya; demikian pula misalnya dengan budak ngadat, seperti tiba-tiba menangis dan "mogok" tidak mau pergi ke sekolah, pundungan ("mogok" karena kesal hati), teu kaopan (mudah tersinggung), ogoan (manja), dsb, termasuk dalam adat macam ini. Adat macam ini pun ada yang baik dan ada yang buruk.

Keempat, dalam arti sopan santun pergaulan, etiket atau adat kesopanan. Orang yang tidak tahu atau tidak memakai adat kesopanan dalam pergaulan disebut orang tak beradat, teu nyaho diadat, atau jelema belegug (orang yang tidak tahu aturan). Orang yang tidak tahu cara pergaulan orang kota disebut jelema dusun (orang udik) atau jelema dusun meledug (orang udik penuh debu), kerap pula disebut urang kampung bau lisung (orang kampung bau lesung, orang kampung hanya tahu lesung saja, tak memiliki pengetahuan yang lebih dari itu).
Orang yang tidak tahu atau tidak menggunakan adat kesopanan yang berlaku dikalangan priyayi atau MENAK, dikatan teu nyaho ditata, teu nyaho di basa. Berkelakuan, berbicara, atau bersikap tidak sopan kepada orang tua atau kepada atasan disebut ngalunjak, campelak atau culangung. Berbicara dengan nada kurang sopan atau ucapan-ucapan yang nada suaranya tidak lembut disebut songong. Termasuk adat ini ialah perilaku yang disebut handap asor (bersikap merendah, low profile), handap lanyap (sangat sopan di hadapan tetapi kurang ajar di belakang). Bertindak atau bersikap merendahkan atau menghina seseorang yang sedang berhadap-hadapan dikatakan nincak hulu (menginjak kepala). Bersikap angkuh atau sombong disebut gede hulu (besar kepala).



ENSIKLOPEDI SUNDA - PUSTAKA JAYA