- KEMANA PERGINYA DONGENG SUNDA KITA?
14 Jul 2003 - 1:04 pm
Belakangan ini sulit sekali rasanya kita mendengar acara radio yang menyiarkan secara langsung dongeng pasosonten, carita ti Sinta dan sejenisnya. Acara tersebut biasanya dibawakan oleh seorang yang ahli membawakan berbagai karakter, ada bapak-bapak, ibu-ibu, pemuda-pemudi, kakek-kakek, nenek-nenek, anak-anak, bayi, pendekar, orang jahat dan sebagainya.
Pada masanya hampir setiap rumah penduduk merelai acara dari sebuah radio yang meyiarkan dongeng. Tidak terbayang lagi betapa hiruk pikuk orang ketika esok harinya menceritakan kembali apa-apa yang ia dengar dari sebuah dongeng favoritnya. Atau ketika orang terburu-buru ingin segera tiba di rumahnya setelah seharian penuh bekerja, pada sore harinya beristirahat sambil menyimak siaran dongeng favoritnya yang penuh pekerti tersebut.
Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, yang namanya acara dongeng pasti banyak sekali penggemarnya, sampai-sampai setiap orang hafal tokoh-tokoh yang ada pada dongeng tersebut, tidak terkecuali dengan pendongengnya. Sebut saja, Wahyu Adam, Abah Kabayan, Mang Rahmat (Rahmat Dipraja), Aki Balangantrang, Wa Kepoh, Mang Barna, Mang Haji Dulacis, Mang Yayat, Abah Godeg, Mang Jaya, dan lain sebagainya. Mereka dengan gaya dan kelebihan masing-masing mampu menarik penggemar yang tidak sedikit.
Adapun dongeng-dongeng yang terkenal pada masa itu diantaranya: Andi (Si Buntung Jago Tutugan), Nini Buyut Ratu, Si Rawing, Mang Itok/Si Kulup, Jurig Hulu Citarum, Sekar Arum, Sirod Jalma Gaib dan masih banyak lagi. Dongeng tersebut disampaikan atau disajikan sedemikian rupa, sehingga membuat orang yang mendengar terbawa imajinasinya.
Penyajian dongeng tersebut durasinya kurang lebih satu jam, selama dongeng berlangsung biasanya diselingi oleh alunan musik, kacapi suling, Cianjuran, kendang penca, degung atau yang lainnya, bergantung pada situasi atau gambaran dari isi dongeng tersebut.
Pada masa itu hampir setiap radio sering menyiarkan acara dongeng, seperti Radio Garuda, Radio Sinta Buana, Radio Ekstra Lita, Radio Sangkuriang, Radio Volvo, Radio Paksi dan masih banyak lagi. Gelombang radio pada masa itu pada umumnya berada pada gelombang AM, sedikit sekali radio yang berada di gelombang lain seperti SW dan FM.
Setelah mengalami perkembangan di bidang teknologi, mulailah bermunculan radio-radio yang siaran di gelombang FM, seperti Radio OZ, Radio MGT dan lain sebagainya. Bahkan radio-radio yang tadinya berada di gelombang AM, mulai ikut-ikutan hijrah ke gelombang FM. Akibatnya jangkauan yang digunakan semakin pendek dan penggemar dongengpun, khususnya yang berada di daerah pinggiran mulai kehilangan siaran favoritnya.
Efek yang ditimbulkan dari kehilangan acara tersebut, atau hijrahnya radio-radio AM ke FM, setelah sebuah radio berada di gelombang FM tentunya harus menyesuaikan diri dengan keberadaannya di gelombang tersebut, timbullah gengsi untuk meningkatkan mutu siaran. Ironinya yang mereka anggap bermutu untuk sebuah siaran radio tersebut selalu diidentikkan dengan siaran-siaran yang cenderung "kebarat-baratan". Kayanya "gengsi deh" kalau menggunakan istilah-istilah yang lokal, terlebih kalau harus menyiarkan acara dongeng. Mendingan nyiarin "lagu Barat" atau "Acara Politik" yang membingungkan rakyat atau masyarakat.
Mereka tidak tahu bahwa begitu banyak budi pekerti yang dapat kita ambil dari acara sebuah dongeng. Begitu tinggi nilainya, khususnya di bidang seni (seni sastra dan drama/teater), begitu tinggi nilai adiluhung yang ada dalam sebuah dongeng, sehingga seorang pendengar bisa merasakan betapa indahnya, sedihnya atau yang lainnya tatkala sebuah isi dongeng tersebut seandainya menimpa dirinya.
Tidak seperti sekarang ini, akibat perkembangan teknologi yang semakin pesat, televisi menjadi salah satu media yang sangat berpengaruh terhadap perilaku masyarakat, yang secara kebetulan dalam tayangan televisi tersebut lebih dominan menyiarkan acara yang "kurang mendidik". Misalnya acara sinetron yang cenderung mendidik masyarakat untuk "bermegah-megahan", iklan sebuah produk yang "begitu vulgar" mendorong masyarakat menjadi konsumtif, atau "debat kusir" yang mengajari masyarakat "berpanas-panas" hati dan kepala, "perpecahan tauya perselisihan".
Saya berpendapat bahwa itu bukannya sebuah demokrasi, melainkan cacian, makian atau cemoohan. Demokrasi macam apa kalau harus timbul cacian, makian dan cemoohan. Tidak ada lagi rasa hormat diantara mereka, tidak ada lagi pekerti di situ. Pokoknya mah silih esek-esekeun, silih dedetkeun, tungtungna mah lalieur we!
Barangkali tulisan ini tidak begitu salah jika sedikit mengupas hal diatas, hal ini berkaitan dengan sebab akibat dari hilangnya sebuah kebiasaan yang saya anggap cukup baik. Saya yakin bahwa masyarakat Sunda umumnya masih rindu dan haus akan hiburan yang bersifat tradisional, seperti acara dongeng ini.
(Tatang Lesmana, Seni Budaya)