KABUYUTAN UNTUK PENGELOLAAN LINGKUNGANOleh: Oman Abdurahman dan Yustiaji

17 Nov 2003 - 12:34 am

Sejarah Penggunaan Istilah Kabuyutan

Catatan atau peninggalan sejarah Sunda tertua yang memuat istilah kabuyutan sejauh ini adalah sebuah prasasti yang dikenal dengan prasasti Cibadak. Prasasti ini merupakan peninggalan Sri Jaya Bupati, seorang raja Sunda, yang dibuat antara 1006-1016 M, Prabu Sri Jaya Bhupati memerintah bersamaan saat di Kediri, Jawa Timur, memerintah Raja Airlangga. Dalam prasasti tersebut, Sri Jayabupati telah menetapkan sebagian dari Sungai Sanghyang tapak (saat itu), sebagai kabuyutan, yaitu tempat yang memiliki pantangan (larangan) untuk ditaati oleh segenap rakyatnya. Lebih jelasnya, di bawah ini dikutipkan pernyataan kabuyutan dari Raja Sri Jayabupati dalam prasasti tersebut:

"Selamat, dalam tahun Saka 952 bulan Kartika tanggal 12 bagian terang hari Hariyang-Kliwon-Ahad wuku Tambir. Inilah saat raja Sunda Maharaja Sri Jayabhupati Jayamanahen Wisnumurti Samarawijaya Sakalabuanamandaleswaranindita Harogowardana Wikramotunggadewa membuat tanda di sebelah Timur Sanghyang Tapak, dibuat oleh Sri Jayabhupati Raja Sunda dan jangan ada yang melanggar ketentuan di sungai ini. Jangan ada yang menangkap ikan di bagian sungai ini mulai dari batas daerah Kabuyutan Sanghyang Tapak dibagian hulu..."

Istilah kabuyutan selanjutnya terdapat dalam naskah kuna Sunda peninggalan abad ke-13, yaitu Naskah Ciburuy atau Naskah Galunggung yang terkenal sebagai Amanat Galunggung atau Amanat Prabuguru Darmasiksa. Naskah Ciburuy ditemukan di daerah Ciburuy, Garut Selatan, dan disebut pula Kropak No.632. Naskah ini ditulis pada daun nipah sebanyak 6 (enam) lembar yang terdiri atas 12 (dua belas) halaman; mengunakan aksara Sunda Kuna (H.R. Hidayat Suryalaga, 2002, Amanat Galunggung Prabuguru Darmasiksa Luluhur Sunda, arsip http://www.sundanet.com).

Amanat Galunggung adalah peninggalan Prabuguru Darmasiksa, raja yang memerintah di Tatar Sunda antara 1175 M sampai 1297 M, yaitu nasehat-nasehat beliau kepada anak keturunannya dan semua rakyatnya. Amanat ini berupa pegangan hidup (cecekelan hirup), ulah (larangan), dan kudu (keharusan) yang harus dipegang teguh oleh semua urang Sunda agar jaya sebagai bangsa. Dari naskah kuna ini dapat ditelusuri bahwa ternyata Prabuguru Darmasiksa adalah tokoh yang meletakkan dasar-dasar Pandangan Hidup atau Visi Ajaran Hidup Sunda secara tertulis berupa nasehat, salah satunya adalah pandangan atau visi hidup tentang kabuyutan.

Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai penggunaan istilah kabuyutan dalam Amanat Galunggung, berikut dikutip ulasan halaman pertama naskah tersebut (H.R. Hidayat Suryalaga, 2002, Amanat Galunggung Pabuguru Darmasiksa Luluhur Sunda, arsip http://www.sundanet.com, ulasan lengkapnya lihat lampiran):


  • Harus dijaga kemungkinan orang asing dapat merebut kabuyutan (tanah yang disakralkan).
  • Siapa saja yang dapat menduduki tanah yang disakralkan (Galunggung), akan beroleh kesaktian, unggul perang, berjaya, bisa mewariskan kekayaan sampai turun temurun.
  • Bila terjadi perang, pertahankanlah kabuyutan yang disucikan itu.
  • Cegahlah kabuyutan (tanah yang disucikan) jangan sampai dikuasai orang asing.
  • Lebih berharga kulit lasun (musang) yang berada di tempat sampah dari pada raja putra yang tidak bisa mempertahankan kabuyutan/tanah airnya.
  • Jangan memarahi orang yang tidak bersalah.
  • Jangan tidak berbakti kepada leluhur yang telah mampu mempertahankan tanahnya (kabuyutannya) pada jamannya.
Istilah kabuyutan juga terdapat dalam Prasasti Kebantenan (PKb) V, yaitu prasasti nomer 5 peninggalan Sribaduga (Prabu Siliwangi), Raja Pajajaran yang pertama dan termashur pada sekitar abad 14 M. Terjemahan berikut adalah kutipan isi Prasasti Kebantenan V (Saleh Danasasmita, dkk., Riwayat Penulusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat, Jilid Keempat, 1984):

"Ini piagam (dari) yang pindah ke Pajajaran. Memberikan piagam kepada kabuyutan di Sunda Sembawa. Semoga ada yang megurusnya. Jangan ada yang menghapuskan atau mengganggunya. Bila ada yang bersikeras menginjak daerah Sunda Sembawa aku perintahkan agar dibunuh karena tempat itu daerah kediaman para pendeta."


Penggalian dan Pengembangan Kabuyutan untuk Peningkatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Perlindungan dan Pemberdayaan Sejarah, dan Peningkatan Ekonomi Kerakyatan

Kabuyutan adalah salah satu dimensi paling penting dalam Budaya Sunda. Dimensi ini memuat kandungan multi nilai, diantaranya: ilmu pengetahuan dan teknologi, sejarah dan arkeologi, dan lingkungan, baik sebagai sumber daya ekonomi maupun sebagai perlindungan utuk lingkungan lainnya. Tatar Sunda banyak memiliki warisan kabuyutan dari leluhurnya, baik berupa hutan larangan (hutan lindung) yang meliputi gunung dan bukit, situs purbakala, peninggalan sejarah lainnya, sungai-sungai strategis dan lingkungannya, dan sejenisnya.

Leluhur Sunda sangat mewanti-wanti agar seluruh kabuyutan di Tatar Sunda dilindungi, dipelihara, dijaga kelestariannya agar dapat dimanafaatkan secara berkelanjutan untuk kesejahteraan dan kemakmuran hidup bersama. Dikatakan dalam salah satu ajaran lama Sunda bahwa barang siapa yang tidak mampu menjaga dan mempertahankan kabuyutan ia lebih hina dibanding kulit musang (B. Sunda: lasun) yang tercampak di tempat sampah. Dalam sebuah prasasti peninggalan Prabu Siliwangi disebutkan bahwa barang siapa yang merusak kabuyutan yang telah beliau tetapkan maka ia harus dibunuh. Pesan-pesan leluhur-leluhur Sunda yang sangat dihormati tersebut menunjukkan nilai tinggi dan strategis dari kabuyutan.

Berlawanan dengan wasiat leluhur Sunda di atas, kenyataanya lingkungan alam, baik yang dulu disakralkan, maupun yang tidak, saat ini sudah banyak mengalami kerusakan tanpa memberikan kemakmuran berarti kepada rakyat banyak. Untuk itu, tema kabuyutan sudah saatnya digali, diangkat dan dibudayakan dalam program-program pembangunan, baik melalui bidang-bidang yang dapat mewadahinya secara langsung, maupun bidang-bidang yang merupakan alat sosialisasinya.

Dalam upaya memberdayakan kabuyutan kehidupan yang berpresentasi akan berpijak pada landasan-landasan pengembangan program-program pencapaian fungsi dan manfaat kabuyutan secara berkelanjutan sesuai peruntukannya masing-masing. Beberapa alternatif arahan penyusunan program tersebut ialah: (1) penggalian dan pengembangan Kabuyutan untuk penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi lokal guna peningkatan ekonomi kerakyatan dan pengelolaan lingkungan, (2) perlindungan dan pemulihan kerusakan ligkungan kabuyutan, (3) pemberdayaan kabuyutan sebagai sumber ekonomi kerakyatan, (4) perlindungan dan pemberdayaan aspek sejarah, arkeologi dan filologi dari kabuyutan, (5) inventarisasi data, penyebarluasan dan sosialisasi informasi kabuyutan dan kandungannya melalui bidang kesenian, pendidikan, bahasa dan sastra dan pengelolaan lingkungan. Kelima program tersebut seharusnya dilaksanakan secara terpadu.


Pengelolaan Lingkungan Berbasis Kabuyutan

Kabuyutan dalam makna luas adalah tanah air, baik lokal, regional maupun nasional. Dalam konteks ilmu pengetahuan lingkungan saat ini, kabuyutan dapat bermakna sumber daya alam, baik hayati maupun non hayati yang meliputi: lahan, geodiversity, biodiversity (keanekaragaman hayati), yaitu hutan, sungai, gunung, dan lingkungan alam lainnya beserta kandungan isinya. Dengan kata lain, kabuyutan adalah lingkungan hidup kita. Dalam arahan pola umum ini, penekanan terletak pada kandungan kabuyutan sebagai sumber daya alam, hayati dan non hayati beserta tatanan lingkungannya.

Arahan pola umum disini diketengahkan guna memfasilitasi dan menggkoordinasikan program pembangunan budaya dengan Agenda 21 Indonesia, Strategi Nasional Pembangunan Berkelanjutan dengan basis salah satu dimensi paling penting dalam budaya Sunda, yaitu kabuyutan. Program-program dalam Agenda 21 Indonesia, selain Pengentasan Kemiskinan, diadopsi dan ditajamkan melalui telaahan terhadap kelamahan-kelamahan budaya Sunda dalam bidang lingkungan. Berdasarkan langkah tersebut selanjutnya disusun program-program pengelolaan lingkungan dengan fokus perhatian pada pemulihan dan peningkatan kelemahan-kelamahan bidang budaya lingkungan berbasis pemahaman kabuyutan. Dengan kata lain, program-program dalam Agenda 21 Indonesia dikombinasikan dengan temuan-temuan pengelolaan lingkungan lokal dari dimensi penting kabuyutan.

Berbagai acuan, program-program pengelolaan lingkungan dalam Agenda 21 tersaebut selain Pengentasan Kemiskinan, adalah: (1) Pengelolaan Limbah, terdiri atas: a) perlindungan atmosfir, b) pengelolaan bahan kimia beracun, c) pengelolaan limbah berbahaya dan beracun, d) pengelolaan limbah radio aktif, dan e) pengelolaan limbah padat dan cair; (2) pengelolaan sumber daya lahan, terdiri atas: a) perencanaan sumber daya lahan, b) pengelolaan hutan, c) pengembangan pertanian dan pedesaan, dan d) pengelolaan sumber daya air; dan (3) pengelolaan sumber daya alam, terdiri atas a) konservasi keanekragaman hayati, b) bioteknologi, dan c) pengelolaan terpadu daerah pesisir dan laut.
Dalam hal terdapat tumpang tindih dengan kegiatan unsur budaya lain, seperti pengembangan pertanian dan pedesaan dan program ekonomi kerakyatan.