KOTA BEKASIPERNAH MENJADI IBUKOTA KERAJAAN TARUMANAGARA

19 Oct 2004 - 2:18 am

PURWAWACANA

Bila kita berkesempatan memasuki kota-kota yang berada di Tatar Sunda - Jawa Barat, yang terasa dan terekam sebagian besar adalah atmosfir kehidupan kota-kota bernuansakan "jaman sekarang" - kota metropolis - yang hampir seragam keadaannya. Malah kota Bekasi telah direncanakan untuk menjadi kota metropolitan, ditambah lagi secara geografis kewilayahan begitu dekat dengan Kota Jakarta. yang sudah lebih dulu menjadi metropolitan dengan sejumlah permasalahan yang menimpanya.

Permasalahan yang dihadapi para stakeholders di setiap kota besar itu pun hampir seragam pula. Antara lain permukiman kumuh, sampah yang selalu menjadi masalah, perihal air yang semakin mengkhawartirkan baik kualitas maupun kuantitasnya. Ini baru masalah yang berskala fisik, belum lagi masalah kehidupan lainnya yang menyangkut kualitas penduduknya. Kehidupan manusia di kota-kota modern sangat rentan untuk timbulnya berbagai penyakit yang menerpa fisik dan psikis penduduknya sebagai akibat dari polusi, kontaminasi, radiasi, kesibukan, stres, kelelahan, kekenyangan karena serba dimakan, kelaparan dan kurang gizi karena tak teratur makan, kesenangan tanpa kendali dsb. Keadaan ini bila tidak diantisipasi dengan segera akan terus menurunkan kualitas pembangunan manusia yang sehat sejahtera. Bukankah IPM Provinsi Jawa Barat hanya menduduki nomor 17 dari 26 provinsi di bawah IPM Provinsi Papua dan NAD. *)

Demikian pula yang tengah dialami negara kita dewasa ini; tiga aspek penanda signifikan menginformasikan bahwa dunia pendidikan di negara kita adalah peringkat ke-49 dari 49 negara berkembang, berarti peringkat terbawah. Dalam bidang ekonomi urutan NKRI adalah ke-48 dari 49 negara berkembang. Yang paling memilukan, NKRI adalah peringkat ke-2 negara yang paling korup dari 49 negara berkembang. Mau berkelit bagaimana lagi bagi kita, bila telah demikian nyata keadaannya. **)

Sumber:
*) Informasi Dinas Tarkim, 6-8-2004.
**) Solihin G.P dalam PR, 16-8-2004.


BEKASI PADA MASA LAMPAU

Kewilayahan dengan batas-batas seperti yang ada sekarang hanyalah bagi kepentingan adminsitratif kepemerintahan saja. Pada masa lampau batas kewilayahan ini tidaklah seketat seperti sekarang. Misalnya kerajaan Tarumanagara (358 s.d 669 M) mencakup daerah Bekasi, Sunda kelapa, Depok, Cibinong, Bogor malah ke arah timur sampai ke wilayah S. Cimanuk di Indramayu. Wilayah Tarumanagara yang cukup luas ini beribukota di suatu tempat yang disebut Dayeuh Sundasembawa pernah pula dinamai Jayagiri. Menurut para akhli sejarah, dan filologi, letak Dayeuh Sundasembawa dan Jayagiri sebagai ibukota Tarumanagara adalah di wilayah BEKASI sekarang.

Dayeuh Sundasembawa inilah daerah asal Maharaja Tarusbawa (669-723 M) pendiri kerajaan Sunda yang seterusnya menurunkan raja-raja Sunda sampai generasi ke-40 yaitu Ratu Ragamulya (1567-1579 M) raja Kerajaan Sunda (disebut pula Kerajaan Pajajaran) yang terakhir.

Wilayah Bekasi dikenal sebagai daerah yang cukup banyak memberikan informasi tentang keberadaan Tatar Sunda pada masa lampau. Di antaranya dengan ditemukannya 4 buah prasasti yang dikenal dengan nama Prasasti Kabantenan. Ke-4 prasasti ini merupakan keputusan (piteket) dari Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi, Jayadewa 1482-1521 M) yang ditulisakan dalam 5 lembar lempeng tembaga. Seluruh prasasti (piteket) ini pada garis besarnya penetapan beberapa fungsi wilayah (tata ruang permukiman) seperti ditetapkannya wilayah yang disucikan (kabuyutan, lemah dewasasana), wilayah untuk para wiku (mandala kawikwan, pusat pendidikan agama), penetapan wilayah ibukota (dayeuh Jayagiri dan Sundasembawa) dan pengukuhan fungsi wilayah yang sangat disakralkan yang berada di ibu kota (lemah dewasasana yang ada di dayeuh Sundasembawa, pusat religi di ibukota). Malah dalam isi lembar tembaga ke-5 diperintahklan supaya pusat religi yang ada di dayeuh Sundasembawa harus ada yang mengusurnya dengan baik, tidak boleh ada yang menggangu atau menghilangkannya, siapa pun yang mencoba mengganggu daerah yang disakralkan itu akan dihukum sangat berat.

Dari keseluruhan isi (piteket tembaga) tsb, kita yang hidup pada masa sekarang bisa memahami "Kehidupan seperti apa yang direncanakan para pendiri kota Bekasi pada masa lampau?" Isi piteket tsb menggambarkan penataan ruang dan peruntukkannya dengan sangat jelas, semuanya menyiratkan pada nilai "kesakralan tanah ". Tentang betapa disakralkannya "tanah dan lingkungannya" dalam konsep budaya Tatar Sunda pada masa lampau bisa disimak dari amanat Prabuguru Darmasiksa (raja Sunda 1175-1297 M) yang tertulis dalam naskah kuna "Amanat Galunggung (Kropak 632) bahwa, "Alangkah hinanya seorang anak bangsa, jauh lebih hina daripada kulit musang yang tercampak di tempat sampah (tempat yang hina dan berbau busuk ), bila anak bangsa tsb tidak mampu mempertahankan (menjaga, memelihara tanah airnya).

Kesadaran akan pentingnya memelihara lingkungan hidup telah dilaksanakan sejak Raja Purnawarman memerintah Tarumanagara (yang beribukota di Sundasambawa - kota Bekasi sekarang). Pemeliharaan lingkungan hidup pada jaman itu dimulai dengan "penataan aliran sungai" (Pada masa sekarang pemeliharaan DAS sejak ulu sampai ilir). Dalam masa pemerintahannya telah banyak aliran sungai yang dibenahi, dengan cara dikokohkan pinggiran sungainya, diperlebar dan diperdalam, serta peraturan lainnya yang menjaga kualitas dan kuantitas air yang sangat diperlukan untuk pelayaran, lalu lintas, irigasi pertanian, pelaksanaan ritual agama dsb. Indahnya lagi pekerjaan tsb dilaksanakan oleh penduduk Tarumanegara dengan sukarela sebagai tanda bakti kepada rajanya. Aliran sungai yang telah dibenahi dalam masa apemerintahan Raja Purnawarman a.l:


  • Sungai Ghangga di wilayah Indraprahasta (410 M).
  • Sungai Cupu (S.Cupunagara, Cipunagara; 412 M);
  • Sungai Sarasah (S. Manukrawa, Cimanuk; 413 M);
  • Sungai Ghomati dan S. Chandrabagha (S. Bekasi; 417 M) yang dikerjakan masyarakat siang malam.
  • Yang terakhir adalah S. Taruma (Citarum; 419 M).

Setelah selesai "nyusuk dan ngabalay" S. Citarum, Raja Purnawarman pun wafat dalam usia 62 th (434 M) dengan menyandang nama dan gelar kehormatan Sang Lumah ring Taruma Sri Maharaja Purnawarman Sang Iswaradigwijaya Bhimaparakrama Suryamahapurusa Jagatpati yang dimaknai "Dia yang dipusarakan di Taruma Sri Maharaja Purnawaman bagaikan Wisnu yang turun ke dunia bagaikan Indra yang mengalahkan musuhnya."

Itulah wacana sepintas tentang tata ruang dan peruntukkanya yang menjadi "Penanda" karakter para stakeholders serta kesadaran masyarakat wilayah Bekasi pada masa silam dalam memelihara lingkungan hidupnya.

Sumber:
- Kebudayaan Sunda,( Suatu Pendekatan sejarah). Edi S. Ekadjati. Pustaka Jaya. 1955.
- Nyukcruk Sajarah Pakuan Pajajaran & Prabu Siliwangi. Drs. Saleh Danassamita. Girimukti; 2003.
- Pustaka Pararatwan I Bhumi Jawadwipa. Parwa 1 Sargah 1-4. Agus Aris Munandar & Edi S Ekadjati. Yayasan Pembangunan Jawa Barat. 1991.
- Rintisan Penelusuran Masa Silam Sejarah Jawa Barat. Jilid 4. Pemda DT I. Jawa Barat, 1983-1984
- Sadjarah Sunda. Drs. R. Ma'mun Atmamihardja. Ganaco. Bandung 1958.
- Sewaka Darma - Sanghyang Siksakandang karesian - Amanat Galunggug. Saleh Dasasmita Ayatrohaedi dkk. Dedpdikbud. 1987.


BEKASI MASA SEKARANG

Tentu saja kita pun sadar bahwa situasi kondisi dan permasalahan yang menimpa Kota Bekasi pada saat ini jauh lebih kompleks, lebih bermasalah, seiring dengan bertambahnya penduduk, sistem berkehidupan yang sangat berbeda serta sejumlah masalah yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan masa silam.

Kita pun faham benar bahwa tidak selayaknya kita hidup hanya dalam bayang-bayang nostalgia dan romantisme masa lampau. Untunglah kita yang hidup pada masa sekarang telah diingatkan oleh firman Allah Sang Maha Pencipta, bahwa di setiap masa akan selalu ada masalah, dan manusia yang hidup pada masa itulah yang harus mengatasi masalah tsb. dengan ilmu pengetahuan dan keimanannya. Itulah tugas kita bersama yang hidup di Buana Panca Tengah pada saat ini. Bukankah disabdakan-Nya pula bahwa "tidak akan berubah keadaan kita, bila kita tidak berusaha untuk merubahnya.
Insya-Allah.



Bandung, 17-8-2004
Oleh: H.R. Hidayat Suryalaga