- MASYARAKAT BERHAK MENILAI
23 Aug 2001 - 12:00 am
Ini salah satu hembusan angin segar dalam reformasi pengelolaan lingkungan. Kini masyarakat lokal berhak menilai, mengkritik dan memberi masukan terhadap perumusan AMDAL perusahaan baru yang mengelola sumber daya alam dan memberi dampak lingkungan di suatu daerah.
Apakah Anda baru-baru ini menjumpai pengumuman lingkungan dari sebuah perusahaan, yang agak lain di beberapa suratkabar nasional? Pengumuman yang disampaikan Pertamina, BP-Amoco, dan ARCO tersebut pada prinsipnya meminta tanggapan tertulis masyarakat mengenai rencana penyusunan AMDAL (Analisa Mengenai Dampak Lingkungan) untuk proyek LNG Tangguh, di Papua.
Mungkin banyak orang merasa heran. Maklum, dulu proses penyusunan AMDAL sering diabaikan atau dilakukan secara internal dan tertutup. Bahkan lebih sering AMDAL-nya belum ada, proyeknya sudah jalan. AMDAL-nya bisa diatur belakangan.
Kini sebelum menyusun AMDAL, BP sudah kasih pengumuman dan minta tanggapan lagi. BP bukannya nantang. Maksud mereka baik, yaitu mau kulo nuwun dan mengajak masyarakat setempat untuk terlibat dalam menyusun AMDAL kegiatan eksploitasi gas alam di sana.
Setelah dipelajari, pengumuman itu ternyata merupakan salah satu kewajiban baru proses penyusunan AMDAL dalam PP (Peraturan Pemerintah) No.27/1999 tentang AMDAL. Pasal 33 yang berlaku mulai 7 November 2000 menyebutkan, kelompok masyarakat yang berkepentingan berhak menanggapi dan memberi saran atas rencana pelaksanaan proyek di kampung halamannya masing-masing. Dan sang pemrakarsa proyek wajib mempertimbangkan semua saran dan tanggapan tersebut.
PP yang menggantikan PP No.51/1993 ini memang dibuat untuk membentuk tata laksana proses AMDAL yang lebih terbuka. Kalimat kuncinya adalah 'Melibatkan Kelompok Masyarakat Berkepentingan'.
Kelompok masyarakat berkepentingan ini dilibatkan pada hampir setiap tahapan penyusunan AMDAL (lihat diagram) sesuai Surat Keputusan Kepala BAPEDAL No.8/2000 tentang Keterlibatan Masyarakat dan Keterbukaan Informasi dalam Proses AMDAL. SK itu juga mengatur banyak hal guna mencegah kesimpangsiuran dalam proses pelibatan masyarakat itu, mulai dari siapa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat berkepentingan, kewajiban instansi dan pemrakarsa, sampai rincian tata cara pelibatan masyarakat.
Nah, soal hak ini, banyak yang mempertanyakan kesiapan masyarakat pedesaan. Berbagai kekhawatiran muncul dari 'orang kota'. Misalnya, masyarakat desa dinilai terlalu naif sehingga nanti gampang dibohongi. Ada lagi 'raja-raja' kecil yang tampak tidak setuju padahal sebenarnya hanya minta upeti atau punya agenda sendiri. Atau bermunculan kelompok-kelompok yang tiba-tiba 'galak', ingin bicara banyak dan ngotot tidak mau kalah. Itu mungkin saja terjadi, walaupun bisa saja kekhawatiran ini adalah cerminan watak dan kurang percaya diri 'orang kota' sendiri.
Bicara hak, tentu ada kewajiban. Kelompok masyarakat punya beberapa kewajiban. Mereka dilarang cuek lebih dari 30 hari sejak tanggal diumumkannya rencana penyusunan AMDAL itu. Mereka mesti segera memilih wakilnya untuk turut menilai, memberi masukan dan sebagainya. Itu yang tertulis. Yang tidak tertulis sebenarnya lebih penting, yaitu kewajiban untuk menemukan di antara mereka sendiri, mekanisme yang dewasa dalam menentukan sikap, dan kesiapan untuk menerima keputusan yang bertentangan dengan kehendak pribadi atau kelompok.
Mengenai aplikasi PP baru ini, praktisi lingkungan Ir. Setiawan Wangsaatmaja, Dipl. SE, MSc dan Ir. Helmi Gunawan berpendapat, beberapa persoalanpun sebenarnya masih menggantung. "Bagi pemerintah, PP ini masih perlu beberapa klarifikasi. Salah satunya, siapa yang dimaksud dengan Komisi Daerah AMDAL, apakah ituada di level Daerah Tingkat I atau II? PP AMDAL baru menyebutkan komisi daerah ada di DT I. Di lain pihak, ada kesan PP No.25/2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom menghendaki komisi ini ada di DT II," katanya.
Sebagai salah satu pelaksana kewajiban baru ini, bagaimana dengan kesiapan para pemrakarsa sendiri? "Kami memang mengambil kebijakan untuk transparan, serta melakukan kerjasama dan menjadi tetangga yang baik dengan masyarakat lokal. Kami melakukan konsultasi publik dengan masyarakat pemerhati lingkungan dan masyarakat yang terkena dampak langsung," jelas Herb Vogel, Senior Vice President LNG Tangguh. "Pada intinya yang kami jelaskan adalah rencana kegiatan proyek, rencana AMDAL dan proteksi lingkungan, rencana pengembangan masyarakat, dan berbagai komitmen kami."
Selama beberapa bulan tim BP menjumpai berbagai kelompok masyarakat dari Jakarta hingga pelosok Papua, melakukan konsultasi publik dengan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, DPRD, partai politik, perguruan tinggi, media massa dan kelompok etnis.
"Dari setiap sesi kami menyerap partisipasi, kebutuhan dan aspirasi mereka dalam berbagai tanggapan, saran dan kritik dengan berbagai topik, seperti manfaat yang bisa diambil, serta dampak lingkungan dan sosial ekonomi jangka pendek maupun panjang. Kami jadi tahu apa yang mereka kehendaki dan tidak kehendaki, apa yang jelek di masa lalu, apa yang bagus untuk masa mendatang," kata Amir Hamzah, Media & Public Relation Manager BP.
Menurut Herb Vogel, sejauh ini masyarakat berpikir cukup progresif, sehingga dialog berlangsung positif dan mulus, tanpa masalah signifikan. Apalagi gas alam cair memang tidak membahayakan lingkungan.
"Sebagian besar tanggapannya positif dan mendukung rencana ini. Kami masih mengumpulkan berbagai masukan untuk dirumuskan," katanya.
LNG Tangguh rencananya akan beroperasi di Kepala Burung, tepatnya di Teluk Berau, Wiriangar, dan Muturi, di Kabupaten Manokwari, Fak Fak dan Sorong. Kilangnya akan memproduksi 6-7 juta ton gas alam cair per tahun. Konstruksinya akan mulai dibangun tahun 2002.
Bicara soal proyek raksasa di Papua, sebagian orang lingkungan tampaknya masih trauma dengan cerita-cerita dari kawasan pertambangan tembaga dan emas PT Freeport Indonesia. Ketidakberesan pengelolaan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat dahulu, ternyata berbuntut amat panjang. Segala upaya pembenahan yang dilakukan masih saja dicurigai.
Menteri Negara Lingkungan Hidup, Dr. Sonny Keraf pun sudah wanti-wanti agar pelaksana proyek sejak awal harus lebih peduli pada aspek pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan dan mampu memberdayakan rakyat Papua sebagai pemilik hak ulayat.
Menanggapi ini, BP meyakini bahwa mereka tahu untuk memulai sesuatu dengan cara yang benar agar semuanya berjalan mulus kelak. (Rudy Yuwono - DAUR)
Sumber:
DAUR, informasi lingkungan kota dan industri.
Edisi Perdana Agustus - September 2000.