- KEBIJAKSANAAN TATA RUANG
23 Aug 2001 - 12:00 am
Berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang No.24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, maka dalam merencanakan, memanfaatkan dan mengendalikan tata ruang harus mempertimbangkan pula data pertanahan serta ketentuan pertanahan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku berupa data dan informasi mengenai potensi wilayah, kemampuan tanah, persediaan, peruntukan, penggunaan dan pemeliharaan tanah dalam rangka menyusun rencana tata ruang.
Untuk itu di dalam sub sektor tata ruang adanya keterkaitan aspek penataan ruang dan penataan pertanahan.
I. PENATAAN RUANG
Untuk memenuhi keperluan pembangunan yang beraneka ragam perlu dikembangkan:
Kualitas rencana tata ruang yang berfungsi sebagai pedoman dan acuan pelaksanaan pembangunan bagi pemerintah, masyarakat dan swasta dalam pemanfaatan dan pengendalian penataan ruang secara operasional.
Melanjutkan kegiatan penyusunan rencana tata ruang, mengarahkan pemanfaatan ruang dan pengendalian ruang yang realistis.
Pengembangan dan pemantapan kelembagaan yang mencakup pengorganisasian pembiayaan dan pengaturan personil.
Memberikan kekuatan hukum atas semua produk rencana tata ruang yang telah disusun agar dapat dilaksanakan sesuai dengan pola pemanfaatan dan pengendalian yang diharapkan.
Sebagai tindaklanjut dari pemenuhan keperluan pembangunan seperti disampaikan diatas, maka perlu disusun program penataan ruang yang diperinci kedalam program tahunan sebagai alat pemantauan dan pengendalian kegiatan pembangunan, antara lain dilaksanakan:
Pembinaan dan pelatihan penataan ruang bagi aparat teknis di kabupaten/kota.
Pengkajian dan asistensi teknis rencana tata ruang yang disusun oleh masing-masing kabupaten/kota se-Jawa Barat sebanyak 67 rencana.
Penyusunan petunjuk teknis penataan ruang dan bangunan di Kawasan Bandung Utara.
Pelaksanaan penilaian dan pemberian penghargaan penataan ruang kota IKK (Ibu Kota Kecamatan) terbaik sebagai tindaklanjut dari Kepmendagri No.69 tahun 1996 tentang Penilaian dan Pemberian penghargaan Tata Loka Nagaratama. Hasil pelaksanaannya sebagai berikut:
Dari duapuluh kabupaten/kota di Jawa Barat hanya 11 (sebelas) atau 60 persen yang menyampaikan hasil penilaian di daerahnya masing-masing.
Kriteria penilaian yang dipergunakan meliputi 4 (empat) aspek, yaitu (a) penataan ruang kota, meliputi materi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfataan ruang, dengan bobot penilaian 60 persen; (b) partisipasi masyarakat dalam penataan ruang, dengan bobot penilaian 20 persen; (c) peranan camat sebagai kepala wilayah, dengan bobot 10 persen; dan (d) kelembagaan, dengan bobot 10 persen.
Sesuai petunjuk pelaksanaan penilaian dan pemberian penghargaan Tataloka Nagaratama yang diterbitkan Menteri Dalam Negeri, kota-kota Kecamatan yang diusulkan oleh masing-masing kabupaten/kota dikelompokkan berdasarkan jumlah penduduk, yaitu: (a) kelompok I: kota dengan penduduk 2.000 - 9.900 jiwa; (b) kelompok II: kota dengan penduduk 10.000 - 30.000 jiwa; dan (c) kelompok III: kota dengan penduduk > 30.000 jiwa.
Berdasarkan hasil penilaian Tataloka Nagaratama Tingkat I Jawa Barat diperoleh hasil sebagai berikut: (a) kelompok II: Juara I Kota Lemahabang Kabupaten Bekasi, juara II Kota Ciawi Kabupaten Tasikmalaya, dan juara III Kota Jatiluhur Kabupaten Purwakarta; (b) Kelompok III: Juara I Kota Cisaat Kabupaten Sukabumi, Juara I Kota Lembang Kabupaten Bandung.
Untuk kota dalam kelompok I, tidak dilakukan penilaian mengingat kota yang diusulkan hanya dari Kabupaten Purwakarta yaitu kota Darangdan sedangkan Kabupaten lainnya tidak mengusulkan. Untuk tingkat nasional, Jawa Barat mendapat penghargaan Tataloka Nagaratama sebagai juara pada kelompok II yaitu Kota Cisaat Kabupaten Sukabumi.
Dalam rangka perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian tata ruang di Jawa Barat bagian selatan dilakukan kegiatan penyusunan strategi pengembangan dan pengendalian pembangunan di Jawa Barat Selatan.
Perkembangan pembangunan yang semakin cepat dan beranekaragam di Jawa Barat, menyebabkan semakin tingginya intensitas pemanfaatan lahan, memerlukan perangkat perencanaan yang lebih akurat dan komprehensif serta koordinasi dengan baik. Bahwa untuk mencapai perencanaan yang akurat dan koordinasi perencanaan yang baik, diperlukan sistem informasi yang dapat memantau dan mengawasi perubahan ruang secara terus menerus. Untuk mendukung data informasi yang berkaitan dengan perencanaan tata ruang dilakukan pula kegiatan penyiapan data potensi sumberdaya lahan (LREP) dengan sistem komputerisasi.
II. PENATAAN PERTANAHAN
Penataan pertanahan adalah upaya aspek fisik pemanfaatan tanah dan penataan aspek hukum penguasaan tanah untuk menunjang pelaksanaan pembangunan. Mengacu pada Undang-undang No.5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, penataan pertanahan, terdiri dari penataan penggunaan tanah dan penataan penguasaan tanah.
Tujuan penataan tanah secara berencana merupakan upaya pengendalian penggunaan tanah untuk kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya. Sedangkan penetaan penguasaan tanah merupakan suatu upaya untuk mengatur status hukum atas tanah yang diarahkan agar pemanfaatannya dapat mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Berkaitan dengan Undang-undang No.24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang (UUPR) menunjukkan bahwa tanah adalah unsur ruang yang sangat strategis dan pemanfaatannya menentukan penataan ruang wilayah.
Untuk mewujudkan tertib penggunaan tanah dan tertib pemeliharaan tanah serta lingkungan hidup dalam kerangka catur tertib pertanahan, dilakukan upaya pengembangan sistem penataan penguasaan tanah, penatagunaan tanah, pemilikan dan pengalihan hak atas tanah sesuai dengan kebutuhan pembangunan.
Pemanfaatan tanah merupakan kewajiban yang melekat kepada hak atas tanah yang diberikan oleh negara kepada orang seorang, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, dan atau badan hukum. Dalam penyelenggaraannya perlu diatur secara tertib agar semua kepentingan dapat tertampung, tidak terjadi tumpang tindih, tidak merugikan pihak lain dan dapat dipantau perkembangannya, maka pada tahun anggaran 1996/1997 diprioritaskan pada kegiatan tertib pertanahan desa-desa tertinggal, antara lain redistribusi tanah obyek landreform di desa tertinggal yaitu di kabupaten Garut dan Tasikmalaya telah diterbitkan 400 sertifikat.
III. PENATAAN KAWASAN BOPUNCUR
Wilayah sepanjang jalur jalan raya Jakarta-Bogor-Puncak-Cianjur (kawasan Puncak) mengalami perkembangan pembangunan sedemikian cepat. Usaha pengendalian telah dimulai melalui penetapan peraturan-peraturan antara lain:
Sebelum 1980
Perpres Nomor 13 Tahun 1963, tentang ketertiban pembangunan baru disepanjang jalan antar Jakarta-Bogor-Puncak-Cianjur.
1980-1990
Keputusan Presiden Nomor 48 tahun 1983 tentang Penanganan Khusus Penataan Ruang dan Penertiban serta Pengendalian Pembangunan pada Kawasan Pariwisata Puncak dan Wilayah Jalur Jalan Jakarta-Bogor-Puncak-Cianjur.
Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 556.1/SK.295-Huk/1985, tentang Prosedur dan Tata Cara Pengendalian (Kriteria Teknis Bangunan) pada Kawasan Pariwisata Jalur Jalan Bogor-Puncak-Cianjur.
Keputusan Presiden Nomor 79 tahun 1985 tentang Penetapan Rencana Umum Tata Ruang Kawasan Puncak.
Keputusan Menteri dalam Negeri Nomor 22 tahun 1989 tentang Tata Laksana Penertiban dan pengendalian pembangunan di Kawasan Puncak.
Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 1988 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Puncak Kabupaten Bogor.
Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 1989 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Puncak Kabupaten Tangerang.
1990-1996
Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No.413.21/SK.222-Huk/91 tanggal 13 Nopember 1991 tentang Kriteria Lokasi dan Standar Teknis Penataan Ruang di Kawasan Puncak.
Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 640/3246-Bappeda/1994 yang intinya menyatakan tidak diterbitkannya ijin lokasi di Kecamatan Sukaresmi, Pacet dan Cugenang Kabupaten Cianjur dan Kecamatan Ciawi, Cisarua dan Megamendung Kabupaten Bogor.
Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 640/182/Bapp/1995, tentang Penanganan Pembangunan Kawasan Puncak, yang menunjukkan bahwa desa-desa di beberapa kecamatan seperti tercantum pada SK Gubernur No.640/3246-Bappeda/1994 tidak diijinkan kecuali 4 desa di Kecamatan Cisarua dan 2 desa di kecamatan Sukaresmi di Kabupaten Cianjur.
Upaya-upaya penanganan yang telah dilakukan:
Review RDTR secara bertahap sesuai penelaahan lapangan yang terus-menerus dilakukan oleh kabupaten/kota, atas dasar memperhitungkan secara lebih dalam aspek-aspek sosial ekonomi dan ada alternatif penggunaan lahan.
Pemahaman aparat petugas pelaksana terhadap makna Kepres Nomor 48 tahun 1983 jo. Kepres Nomor 79 tahun 1985, Kepmendagri Nomor 22 tahun 1989 serta Perda RDTR Kawasan Puncak.
Pengusutan Program Pilot Area di 6 desa, yaitu : Desa Cimacan, Ciloto, Batulawang Kecamatan Pacet Kabupaten Cianjur dan Desa Cibeureum, Tugu Selatan Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor.
Program-program yang direncanakan:
Menyusun program dan kriteria serta standar teknis di kawasan lindung, antara lain: Inventarisasi areal yang dikategorikan lindung, program penataan kawasan lindung, program pembebasan tanah, dan lain-lain dengan Departemen Kehutanan cq. Kanwil Kehutanan/Perum Perhutani sebagai penanggung jawab.
Pengarahan penggunaan lahan di kawasan penyangga menjadi hutan produksi, perkebunan atau tanaman tahunan yang mempunyai fungsi penyangga. Kanwil Kehutanan dan kanwil Pertanian sebagai penanggung jawab.
Pengarahan pemanfaatan kawasan budidaya pertanian melalui inventarisasi lahan usaha tani, koordinasi lintas sektoral, menyusun kriteria dan standar teknis, membuat program pembangunan kanwil pertanian diarahkan sebagai penanggung jawab.
Penyusunan program, kriteria dan standar teknis serta pemantauan di kawasan budidaya non pertanian, dengan instansi PU dan Pariwisata sebagai penanggung jawab.
Disamping itu pula dalam rangka memasyarakatkan keppres kawasan puncak, pemerintah daerah telah melakukan penyuluhan-penyuluhan sampai kepada aparatur tingkat desa dan segenap masyarakat. Sistem pelaporan, baik inventarisasi bangunan, pemantauan pembangunan dilakukan secara bertahap, untuk pemantauan kasus-kasus pelanggaran pembangunan yang tidak sesuai dengan peruntukkannya setiap kepala desa diwajibkan lapor kepada camat setiap hari dan camat laporan ke bupati setiap minggu.
Selanjutnya secara terinci bentuk penanganan di kawasan Puncak yang telah dilakukan, antara lain: (a) evaluasi RDTR dan menetapkannya dalam peta; (b) monitor perkembangan pembangunan di wilayahnya masing-masing; (c) melakukan inventarisasi bangunan; (d) melakukan pengawasan pembangunan; (e) memasyarakatkan keppres Nomor 48 tahun 1983 dan Keppres Nomor 79 tahun 1985; (f) Penghijauan lahan kritis seluas 1.525 hektar; (g) pembuatan dan penahanan sebanyak 102 unit; (h) pembuatan dan pengendali sebanyak 56 unit; (i) pembuatan gully plug sebanyak 305 unit; (j) penanganan kanan kiri sungai sepanjang 42 km; (k) pembuatan sumur resapan sebanyak 330 unit; (l) hutan rakyat seluas 100 hektar; (m) pembuatan UPSA sebanyak 1 unit; (n) kebun bibit desa sebanyak l unit; (o) perlindungan sungai sebanyak 30 unit; (p) reboisasi seluas 943 hektar; dan (q) pemancangan batas kawasan hutan sepanjang 621 km.
Upaya-upaya terakhir yang telah dilakukan sampai saat ini (1995-1996) adalah mengevaluasi daya dukung lingkungan kawasan Puncak yang didasarkan kepada faktor kemiringan lahan, gerakan tanah, penggunaan lahan dan sumber air. Kemudian dari faktor-faktor tersebut, dilakukan perbandingan luas lahan yang tersedia dengan lahan yang telah diberikan ijinnya.
Hasil evaluasi tersebut dituangkan dalam Surat Gubernur Nomor 640/182/Bapp tanggal 13 Januari 1995 yang ditujukan kepada Bupati Bogor dan Cianjur, yang intinya tidak dimungkinkannya penerbitan ijin lokasi baru di desa-desa kecamatan Sukaresmi, Pacet dan Cugenang di Kabupaten Bogor, kecuali 4 desa di Kecamatan Cisarua dan 3 deas di kecamatan Megtemendung, serta sebagian desa di Kecamatan Cugenang dan Sukaresmi.
IV. PENATAAN KAWASAN BANDUNG UTARA
Kawasan Bandung Utara adalah merupakan suatu wilayah ekologis seluas 38.000 hektar yang mempunyai fungsi konservasi air tanah, sehingga dalam rangka mengamankan fungsinya tersebut telah diterbitkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No.181.1/SK.1624-Bapp/1982 tentang Peruntukan Lahan di Wilayah Inti Bandung Raya Bagian Utara.
Oleh karena tekanan perkembangan kota Bandung yang kemudian mendorong berkembangnya usaha property, telah diterbitkan banyak ijin lokasi yang keseluruhannya mencakup areal seluas 3.600 hektar. Sebagian kecil diantaranya telah dimulai dengan mengubah bentuk permukaan tanah, sehingga mengesankan terjadinya kerusakan lingkungan.
Dilain pihak, pembangunan yang dilakukan secara individualpun masih terus berjalan dan terus merambah, sehingga menyulitkan dalam pengendalian.
Pada dasarnya telah dilakukan program, terutama dalam bentuk penghijauan di wilayah Bandung Utara tersebut. Namun demikian, pengembangannya dirasakan belum maksimal, antara lain disebabkan karena manfaatnya yang tidak begitu dirasakan oleh masyarakat, disamping sebagian tanah yang tidak lagi dimiliki oleh masyarakat setempat.
Beberapa langkah yang telah dilakukan oleh Pemda Jawa Barat dalam rangka penataan kawasan Bandung Utara adalah:
Menerbitkan Surat Gubernur Jawa Barat No. 593.82/1174-Bapp/1994, yaitu intinya antara lain mewajibkan untuk menginternalisasikan pertimbangan lingkungan kedalam perijinan lokasi yang dikeluarkan oleh BPN Tingkat II.
Melalui kerjasama dengan LPM ITB, telah dilakukan penelitian secara rinci, khususnya di Kawasan Puncrut, yang hasilnya kemudian dituangkan dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No.593/1221-Bappeda/1994, dan isinya meminta kepada Bupati/Walikota Bandung untuk menginstruksikan Kepala Kantor Pertanahan agar dalam setiap pemberian ijin lokasi di Kawasan Puncrut, mengacu kepada hasil penelitian tersebut, khususnya yang menyangkut ketentuan kemiringan lereng dan rasio liputan bangunan (BCR).
Menerbitkan Surat Gubernur Jawa barat No.660/4244/Bappeda/1994 yang ditujukan kepada Bupati/Walikota Bandung untuk mengambil langkah-langkah antara lain:
Tidak memberikan ijin untuk sementara bagi pembangunan dalam bentuk apapun di wilayah Bandung Utara, sambil menunggu Tim tata Ruang Propinsi Jawa Barat dalam melakukan pengkajian terhadap daya dukung lingkungan.
Terhadap ijin lokasi yang telah diterbitkan, persetujuan amdal harus menjadi persyaratan sebelum site plan disetujui.
Sejalan dengan hal-hal tersebut diatas, telah dilakukan upaya-upaya:
Pembuatan potret udara yang dilakukan melalui kerjasama dengan PPLH ITB, yang hasilnya ditujukan untuk mengetahui kondisi perkembangan pembangunan yang terjadi.
Sebagai tindaklanjut hasil pemotretan udara, saat ini sedang dibuat skala 1 : 5.000 oleh Bakosurtanal, sebagai peta dasar bagi perencanaan pengendalian dan evaluasi.
Studi evaluasi perkembangan pembangunan melalui kerjasama dengan LPM ITB, yang telah menghasilkan pembagian zona di Kawasan Bandung Utara berdasarkan karakteristik ekosistem. Hasil studi ini telah dituangkan dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat, untuk menegaskan butir-butir persyaratan bagi kegiatan pembangunan yang dilakukan.
Pembentukan Tim Pengendali Pembangunan di kawasan Bandung Utara.
Penyusunan RDTR Kawasan Bandung Utara yang dilakukan oleh Departemen PU (Ditjen Cipta Karya), disamping penyusunan kriteria teknis pembangunan di kawasan Bandung Utara yang dilakukan oleh Dinas PU Cipta Karya.
Penyusunan amdal regional Bandung Utara bekerjasama dengan LPM ITB, yang ditujukan untuk dapat memperkirakan keseluruhan dampak yang terjadi, sekaligus memberikan arahan pengendalian dampak berdasarkan rencana pengelolaan dan pemantauan lingkungan.