NGABUBURIT GAYA TEMPO DOELOESebuah Tradisi Masyarakat Sunda yang Nyaris Punah

30 Aug 2001 - 12:00 am

Jaman sekarang, menunggu waktu buka puasa tidak kekurangan acara. Duduk di depan layar TV tinggal pilih saluran yang disuka. Begitu asyik terlena,tiba-tiba muncul gambar mesjid dan muazin yang melanturkan adzan magrib di layar kaca. Lalu ucapan selamat berbuka puasa terdengar menggema.

Ngabuburit dalam bahasa Sunda artinya melena-lena, melewatkan waktu di bulan puasa, sambil menunggu adzan maghrib, saatnya orang berbuka puasa. Caranya bagaimana mengisi waktu ngabuburit, dengan melena-lena sambil mengendalikan perilaku yang baik dan utama, agar puasa tetap terjaga, dan tidak batal.


Mandi-mandi di Cikapundung

Dulu ketika di Bandung belum ada ledeng, warga masih suka mandi dan cuci pakaian di sungai Cikapundung; yang airnya masih sejuk, jernih dan bersih. (Kalau sekarang, buktikan saja sendiri). Di masa lalu warga Kota Bandung enggan menggali sumur, karena harus menggali dengan dalam. Karenanya, penduduk lebih suka memanfaatkan mata air, seperti di sumur Bandung (pojok alun-alun sekitar PLN), mata air Ciguriang (kab. Kawung), Pancuran Tujuh (Cikendi Hegarmanah), Pamoyanan, Cipedes, Tegallega, dan mata air lainnya sekitar pemukiman penduduk. Ditepi Sungai Cikapundung, biasanya dijadikan tempat orang mandi dan mencuci pakaian, letaknya di Gadog, Tamansari, Bangbayang, Gang Plesiran, Nangkasuni, Babakan Ciamis, Braga, serta Pangarang.

Konon ceritanya di bulan puasa, ba'da ashar, orang mulai ramai mandi atau ngbuburit ke Leuwi Pajati. Lubuk dibawah Viaduch itu, airnya jernih dan banyak ikannya. Mereka yang pandai menyelam, kadang berhasil menangkap udang kecil, Deleg, Beunteur, Bogo dan Tawes, untuk lawuh buka puasa. Ada juga anak muda yang menyusuri sungai Cikapundung sambil ngurek (mencari belut di lubang tanah kecil di pinggir kali, sawah maupun sungai).

Pada dasa warsa pertama di abad ke-20 ini, pihak pengelola Kota Bandung membuat sumur bor. "Sumur Bor" yang disediakan bagi masyarakat kota Bandung dibangun didepan Kantor Pos Alun-alun, dibelakang Gubernuran (Cicendo), depan kelenteng - Ciroyom dll. Dengan satu sen, orang bisa mendapatkan air bersih untuk minum, masak dan mandi. Karena pada lokasi sumur bor ada pemandian umumnya, bukan hal yang aneh apabila ba'da ashar pada bulan puasa, banyak penduduk yang mandi di sumur bor dekat Kantor Pos, lalu ngabuburit, duduk-duduk dibawah sepasang pohon beringin di alun-alun Bandung yang diberi nama WILHELMINA dan JULIANA BOOM. Sambil berleha-leha, mereka mengamati anak-anak bermain laying-layang, main bola dan pertunjukan balon gas. Tak terasa sebentar saja waktu buka puasa tiba.


Main-main di Lapang dan Taman

Selain di alun-alun Kota Bandung jaman baheula memiliki sejumlah lahan hijau terbuka, diantaranya lapang olah raga UNI, SIDOLIG, TEGALLEGA, dan NIAU (Gelora saparua sekarang). Beberapa Voet Ball Club, tanpa mengenal bulan puasa melakukan pertandingan atau latihan di sebelah utara rel kereta api dekat Jl. Rakata sekarang. Warga yang lagi ngububurit dari balik pagar bambu, ngintip menikmati pertandingan bola gratis, sementara anak-anak main layang-layang di lapang Javastraat, sambil nonton lokomotif "Si Gombor" menghela rangkaian Sneltrein (Kereta Api Cepat) Yogya Bandung.

Cara lain ngabuburit orang jaman baheula yaitu dengan beramai-ramai ke Park (taman) seperti Jubileum Park (Tamansari), Insulinde Park (Taman lalu lintas) dan Molukken Park (Taman Maluku). Karena di taman-taman tersebut ada saluran air dan kolam teratainya serta brisi banyak jenisi ikannya, anak-anak banyak yang menangkap ikan-ikan kecil dari jenis impun (ikan seribu yang kecil-kecil) dengan cara di sair.

Bagi yang ngububurit di Jubileum Park yang terletak di utara kebun Binatang, menjelang sore berjalan menyusuri kali Cikapayang, yang mengalir dari pintu air di utara pasar Balubur sampai ke Pieters Park (kini taman Merdeka). Orang dewasa menyusuri Cikapayang sambil ngurek mencari belut. Sedangkan anak-anak kecil mengadakan balap kapal-kapalan menggunakan kaleng Sardencis, kelom bekas dan kulit buah Kiangsret (Spathodea) yang berbentuk perahu.
Diatas kapal yang melaju diletakkan lilin yang dinyalakan sesaat sebelum adzan Maghrib yang berarti ngububurit harus bubar, memburu tajil, candil, kolek dan kurma di rumah.

Ngbuburit di alam terbuka kota Bandung baheula tak kurang objek tujuan. Dulu anak-anak segan bermain di lapang Gemeente (Balai Kota) dan lapang GB (Gedung Sate) karena dijaga opas-opas galak. Di lapang "ATPC" tepi kali Citeupus, orang dewasa ngbuburit dengan main bola, adu ayam dan balap merpati.


Melaju Bahtera Laju

Sampai tahun 1950-an, warga kota Bandung masih bisa berlaju-laju di sisa danau Bandung, yaitu Situ Akhsan dan Situ Bunjali atau empang Cipaganti di Bandung Utara. Disitu tadi orang bisa menyewa perahu Salimar, ngbuburit sampai sore. Tamu hotel Homan dan Preanger menjadikan Situ Aksan dan Situ Bunjali sebagai objek wisata dengan menggunakan kereta Kuda, Delman, atau taksi "Pageol", maksudnya sedan merk Peugeot.

Objek ngabuburit anak-anak di Bandung dari masa ke masa adalah Stasiun Kereta Api Bandung. Bentuk dan Gumuruh suara lokomotif yang mendengus, menghembuskan uap betul-betul pesona fantastis bagi anak-anak. Seringkali anak-anak yang sedang ngububurit jatuh terlena ketiduran, dalam gerbong.


Kelangenan Tempo Doeloe

Pusat Utama ngbuburit jaman baheula berkisar sekitar alun-alun, seperti Varia, Radio City, Oriental dan Elita, bulan puasa khusus memutar film anak-anak.

Para pengantar, Kindervoostelling mendapat berkah. Antara pengantar bisa terjadi perkenalan, yang dilanjutkan dengan kencan. Anak-anak sibuk memperhatikan film, oom, tanteu serta teteh dan aa juga tak kurang sibuk pacaran.

Orang bilang Bandung tempo doeloe banyak kamonesan. Udaranya yang sejuk, nyaman, dan segar, dengan suasana kota yang aman tenteram, membuat warga yang puasa, lupa akan haus dan dahaga.


* Sumber: Ramadhan di Priangan (Tempo Doeloe) - Haryoto Kunto.