- KEBUDAYAAN SUNDA KUAT MENAHAN GEMPURAN KEBUDAYAAN DUNIAOleh : Sarif Hidayat Supangkat *)
31 Aug 2001 - 12:00 am
Sunda jangan sampai dijadikan Kurusetra Indonesia. Hal ini dikarenakan sudah sejak lama Indonesia diancam disintegrasi bangsa baik melalui konflik horisontal maupun konflik vertikal.
Pada saat-saat kritis seperti yang terjadi sekarang ini di mana kita sedang menderita krisis dahsyat multidimensi, sangatlah tepat baik tema maupun momentumnya yang telah disponsori oleh Daya Mahasiswa Sunda (Damas) dalam sebuah pertemuan yang telah mengangkat topik Sunda jangan sampai dijadikan Kurusetra Indonesia.
Dalam kesempatan ini penulis ingin memberikan kontribusi wawasan, gagasan yang lebih konkrit dan spesifik namun tetap feasible (bisa dilaksanakan).
Sejarah Sunda menunjukkan bahwa kita mempunyai kelainan (bukan keistimewaan) dibanding etnis lainnya. Hal ini dikarenakan alam dan falsafah hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi di Tatar Sunda. Kisunda berjasa sekali dalam memelihara Budaya Sunda lain dari pada yang lain.
Sebagai wartawan di PBB penulis bergaul dengan sekitar 189 bangsa-bangsa di dunia, tentunya dengan para diplomat kita yang terdiri atas etnis seluruh Indonesia itu, dan melihat kelainan itu pernah ditunjukkan oleh Duta Besar Nana Sutresna, mantan aktivis Pasundan bersama bekas Menlu Mochtar Kusumaatmaja. Walaupun sebagai sesama Sunda, penulis tidak mempunyai hubungan erat dengannya karena harus diakui ada "stratifikasi sosial" walaupun sudah kenal sejak dia masih Sekertaris III di Washington DC dan Meksiko. Dan dengan itikad baik jangan sampai merongrong orang Sunda yang lagi jaya demi kejayaan Sunda juga.
Namun yang penting ditarik pelajaran dari pengalaman itu ialah bahwa saya masih merasa bangga bahwa kebudayaan Sunda masih bisa dipertahankan di antara 189 kebudayaan-kebudayaan seluruh dunia.
Dengan kebudayaan Sunda dimaksud bukan sekedar tari-tarian Sunda belaka, namun juga falsafah hidup umumnya. Dalam hal ini, khususnya yang telah dikumpulkan oleh Kisunda dalam ruang "Sabda Mutiara ti Tatar Sunda" selama ini dan hidup terus di benak saya yang telah menerima gempuran kebudayaan 189 bangsa di dunia, khususnya kebudayaan Belanda dan Amerika.
Kita urang Sunda tidak perlu menganut rasialisme karena rasialisme menunjukkan "insecurity" (ketidakamanan jiwa) yang tidak lain daripada penjelmaan "inferiority" atau kompensasi "superioritas" yang keduanya palsu belaka.
Pegang teguh dan laksanakanlah Sabda Mutiara Sunda tanpa diskriminasi, sehingga bisa "men-Sundakan" orang Sunda yang belum Nyunda.
Secara geopolitik, geofisik, bahkan secara mental, Sunda sudah dikepung bahkan sudah diinfiltrasi dengan itikad buruk untuk melenyapkan keSundaan kita, namun terbukti kita survive berkat Kisunda dan jiwa kita yang justru rendah hati dibandingkan etnis lainnya yang tinggi hati dan cenderung "arogan". Kerendahan hati Orang Sunda diberkati oleh agama-agama dunia, bukan oleh Agama Islam saja. Pegang teguhlah kerendahan hati (kalau dalam Bahasa Belanda "bescheidenheid", Inggeris "humility") yang sudah menjadi sifat dan watak urang Sunda sejak jaman sejarah.
Divisi Siliwangi boleh didominasi oleh etnis-etnis lain. Tetapi semangat kujang Siliwangi dalam laskarnya tidak bisa didominasi oleh itikad-itikad buruk yang mau melenyapkan atau sedikitnya melemahkan falsafah hidup Sunda. Sunda boleh dikepung secara ekonosospol, secara ideologis, namun Insya Allah Kisunda akan tetap survive sepanjang jaman asal saja kita sadar terus akan keunggulan sekaligus kerendahan hati Sunda.
Kita beritikad baik, tidak mau mendominasi etnis-etnis lain, apalagi sesama Bangsa Indonesia. Orang Sunda tidak menyukai separatisme serta tidak mau bersemboyan "If I don't get it, nobody gets it!" yang mau hancur-hancuran daripada pasrah kepada Tuhan Yang Maha Esa.
New York, 28 Mei 2001.
*) wartawan veteran, bekas pejuang kemerdekaan, penulis novelet "Hayam Wuruk Pitaloka" (belum terbit).