EROTISKAH TARI KETUK TILU?

6 Sep 2001 - 12:00 am

Kaitan dari Tari Ketuk Tilu yang dilakukan penari, ronggeng atau doger adalah gerakannya yang erotis, yakni gerakan berupa goyang pinggul, geol dan giteknya yang merangsang. Sekelumit erotisme, enjoyment serta partisipasi Tari Ketuk Tilu memiliki latar belakang sebuah budaya untuk upacara sakral.

Pada mulanya Tari Ketuk Tilu adalah tari bagi upacara penghargaan kepada dewi yang dianggap melindungi tanaman padi, yakni Dewi Sri. Tari ini dilakukan oleh dua jenis penari yang terdiri dari wanita dan pria secara berpasangan yang mengandung arti kesuburan. Nama Ketuk Tilu itu diambil dari waditra pengiringnya (alat musik) yang terdiri dari alat musik yang disebut ketuk berupa gendang kecil.

Pada setiap pertunjukkan ketuk tilu juga selalu ada ronggeng, yakni primadona yang biasanya menari dan menyanyi. Ronggeng inilah yang selalu mengekspolitasi gerak tubuh yang erotis.
Pada awalnya daya tarik erotisme yang diekspresikan tersebut tidak mengarah ke hal-hal yang vulgar dan kotor. Akan tetapi belakangan, keseronokan yang menimbulkan gairah seks pada ronggeng ketuk tilu merupakan sosok pelaku yang berperan untuk menarik publik, kaitannya dengan kelangsungan pertunjukan. Oleh karenanya, pada setiap pertunjukan, para penonton yang diantaranya jawara, mengunakan arena ini untuk berkompetisi memperebutkan primadona atau ronggeng. Karenanya, bagi mereka eksploitasi itu menjadi konteks alami yang muncul dengan wajar dan begitu saja.

Seperti dikatakan oleh salah seorang tokoh, bahwa pertunjukan ronggeng apabila diteliti pada upacara tersebut, yang terakumulasi dalam gerak goyang, gitek dan geol, bukan yang dianggap murah, rendah dan vulgar, serta tidak semata mengekploitasi kepentingan seksualitas, tetapi implikasinya terpaut pada nilai filosofis sebagai lambang kesuburan.
Unsur seks tersebut adalah yang tersirat dari lambang kesuburan padi. Karenanya, dalam kepercayaan itu kehadiran ronggeng adalah sebagai mediator untuk berhubungan dengan arwah leluhurnya. Ronggeng kerap juga disebut syaman.

Sebagaimana kesenian lainnya, Tari Ketuk Tilu pun telah mengalami pergeseran fungsi, dari upacara sakral beralih ke sekularitas, yakni tari pergaulan untuk hiburan masyarakat sebagai pelipur lara. Tari Ketuk Tilu disebut juga sebagai potret bathin dari masyarakat agraris di daerah Parahiyangan yang berada di tengah kalangan kawula alit (rakyat kecil). Istilah-istilah yang dipakai pada kehidupan bertani, misalnya melak (bertanam) atau ngala (memetik), mempunyai pengertian atau pola struktur pada musik pengiring dan koreografinya.



TARIAN YANG DEMOKRATIF

Yang tampak dari tari ketuk tilu ini adalah suasana yang "demokratif" dalam menggunakan idiom-idiom geraknya. Setiap penonton dapat melakukan tari dengan bebas tanpa terikat aturan-aturan normatif yang baku. Yang penting setiap penonton punya kepekaan kuat terhadap musik (lagu).



KENIKMATAN DAN KEGEMBIRAAN

Kondisi kenikmatan dan kegembiraan terasa diantara ronggeng dan penonton yang terlibat menari. Suasana akan menjadi semarak penuh keakraban dibarengi aktivitas penonton dengan tingkah yang berbeda. Yang pandai menari akan memperlihatkan jurus-jurusnya, sedangkan penonton yang punya uang akan memamerkan dan menghabiskan uangnya di arena tersebut.



GAYA TARI KALERAN DAN PAKIDULAN

Tari Ketuk Tilu mempunyai beberapa gaya dalam penyajian yang antara lain:
Gaya Kaleran yakni berasal dari daerah pantai, seperti Karawang dan Subang. Sedang Gaya Pakidulan (selatan) meliputi daerah pegunungan, misalnya Bandung.

Tari Cikeruhan adalah salahsatu Gaya Pakidulan. Meskipun jenisnya sama, namun akan terlihat perbedaan dalam pengungkapannya. Gaya Kaleran secara teknik tampak lentur. Kekayaan gerak terdapat pada kaki dan sangat dominan pada goyang pinggul (itu kemungkinan sebabnya ada istilah Goyang Karawang). Sedangkan Pakidulan permainan gerak tampak pada kekuatan tangan dan cenderung mirip seni beladiri (silat). Gaya Pakaleran cenderung lebih menampilkan fisik atau luarnya saja. Tarian Ketuk Tilu inilah yang kemudian populer menjadi jaipongan.