SENI GONDANG

11 Sep 2001 - 6:07 am

Pada mulanya gondang merupakan bagian dari upacara untuk menghormati Dewi Padi, Nyi Pohaci SANGHYANG SRI, waktu menumbuk padi untuk pertama kalinya, biasa disebut meuseul Nyai Sri, setelah panen usai. Perkembangan selanjutnya gondang menjadi nama salah satu seni pertunjukan yang menggambarkan muda-mudi di pedesaan menjalin cinta kasih, dengan gerak dan lagu yang romantis penuh canda. Sekelompok pemudi menumbuk padi dengan mempergunakan lesung, kemudian sekelompok pemuda datang. Terjadilah dialog yang akhirnya mereka pulang berpasang-pasangan.

Lagu-lagu yang dipergunakan banyak mengambil dari lagu rakyat, atau lagu perkembangan yang diubah katanya. Salah seorang inovator seni pertunjukan ini adalah Tatang Kosasih, yang mengolahnya pada awal tahun 1960-an. Kata-katanya tidak saja berbahasa Sunda, tetapi dicampur dengan bahasa Indonesia, dan untuk membedakan dengan kreasi gondang lainnya, gondang karya Tatang Kosasih biasa disebut "gondang tidak jangan". Mang Koko dan Wahyu Wibisana pernah membuat Gondang Samagaha (gerhana), yang mengisahkan kegiatan muda-mudi dikala terjadi gerhana, diiringi gamelan pelog dan salendro.

Salah satu ciri gondang adalah adanya kegiatan "tutunggulan" dengan alat alu atau lesung. "Tingtung tutunggulan gondang" artinya bunyi-bunyian yang terdengar dari pukulan alu dan lesung yang dimainkan oleh beberapa orang, sehingga membentuk paduan bunyi yang polyphonis.
Tutunggulan biasa pula dijadikan "tangara" (tanda) untuk masyarakat sekitarnya bahwa ada seseorang yang akan melangsungkan perhelatan.


Sumber: Ensiklopedi Sunda.