TOPENG CIREBONOleh: Nana Munajat

19 Oct 2001 - 3:14 am

Kata topeng dapat diartikan sebagai penutup muka atau wajah yang disebut kedok. Tarian yang dalam penyajiannya menggunakan kedok ini secara umum disebut Tari Topeng. Selain itu juga ada tarian yang penyajiannya tidak menggunakan topeng tetapi disebut Tari Topeng misalnya tari Topeng Cisalak, Tari Lipet Gandes dan Blantek. Ada pula tarian yang menggunakan topeng tetapi tidak dikatakan Tari Topeng seperti halnya Wayang Wong Cirebon. Istilah topeng di Wilayah Cirebon dapat diartikan juga sebagai pertunjukan secara lengkap.

Kata topeng juga dapat dipakai untuk menyebut Penari dan sebagian lainnya lagi mengartikan topeng untuk menunjukkan pada asesoris atau hiasan didepan sobrah atau tekes. Sobrah atau tekes ini merupakan hiasan kepala yang terbuat dari rambut. Dalam penyajiannya Topeng Cirebon ini dilengkapi pula dengan rawis atau sumping yang bentuknya pipih gepeng sebesar uang logam.

Kedok yang digunakan dalam tari topeng dibentuk selebar wajah manusia. Bahannya terbuat dari kayu. Wanda topeng disesuaikan dengan karakter atau sifat dari tokoh yang diperankan oleh penari.

Menurut tradisi lisan, Tari Topeng yang berkembang di Cirebon pada masa Sunan Kalijaga dijadikan media syiar Agama Islam. Hal ini dilanjutkan oleh Sunan Panggung dengan misi serupa. Keahlian dalam Tari Topeng ini diturunkan pada muridnya yang bernama Pangeran Bagusan yang kemudian mewariskan pada anaknya yang tinggal di Bagusan, Trusmi dan Losari. Mungkin dari tempat inilah Tari Topeng menyebar ke daerah lain termasuk ke Wilayah Priangan. Terkait dengan misi dakwah keagamaan, Elang Yusuf Dendabrata menyatakan bahwa kesenian topeng berpijak pada tata cara mendalami Islam di Cirebon yang mempunyai 4 tingkatan yang biasa disebut syareat, tarekat, hakekat dan ma'rifat.

Tingkat ma'rifat adalah tingkat paling tinggi. Manusia yang telah berada di tingkatan ini disebut insan kamil. Dalam pertunjukan kesenian topeng tingkat ini digambarkan dalam tarian Panji. Tari ini kedoknya berwarna putih polos dengan gerakan yang halus, hampir tak nampak sosok secara fisikal. Namun musiknya begitu kontras dengan tataran koreografi. Bunyi gamelan pengiringnya sangat riuh dan keras. Hal ini menggambarkan manusia yang kenal akan jati dirinya. Dalam kehidupan nyata sosok manusia seperti ini dikenal tahan terhadap segala cobaan, tenang dan tawakal.

Yang kedua adalah tingkatan hakekat. Dalam tingkatan ini manusia sudah faham betul hak dan kewajiban sebagai mahluk Allah. Dalam Tari Topeng digambarkan dengan kedok Pamindo yang berwarna putih kegadingan. Gerakan tariannya lincah, ganjen (genit) dan menyenangkan. Manusia yang telah mencapai tingkat hakikat senantiasa dapat menyenangkan orang.

Ketiga adalah tingkatan tarekat. Sikap manusia pada tahapan ini dikenal tegas dan konsekuen. Segala tindakannya mengacu pada Sunah Rasul. Dalam kesenian topeng digambarkan dengan Topeng Tumenggung atau Patih, dengan kedok berwarna merah jambu, mata agak melotot, meleleng dan gerak tariannya sangat mantap.

Tahap keempat yaitu tingkatan syareat. Tahapan ini adalah tahapan pemula. Artinya insan yang baru memahami ajaran-ajaran agama, serba ingin tahu, dan suka menonjolkan diri. Dalam Tari Topeng digambarkan dengan Topeng Klana atau Rahwana. Kedoknya berwarna merah tua, mata melotot mengesankan danawa. Tokoh ini menggambarkan manusia yang tindakannya lepas kontrol.